Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2016

Jogja Yang Santai Akan Selalu Dirindukan

Tengah malam aku memutuskan untuk pulang ke Bojonegoro. Diantar Rusdi menunggu bus di bawah Jembatan Layang Janti. Selalu bus Sugeng Rahayu yang aku tunggu, meskipun pada akhirnya bus Miralah yang aku tumpangi hingga Kota Ngawi. Yogyakarta tampak indah di tengah malam, jalanan sepi dengan berhiaskan lampu-lampu yang cukup untuk menggantikan purnama sebagai cahaya di malam hari. Aku tidak sempat melihat jam yang ada di handphone ketika bus Mira tiba di depanku, sejenak aku berpamitan dengan Rusdi sebelum aku masuk ke dalam bus. Seperti biasanya ketika aku pulang kampung di malam hari, bus selalu sepi dari penumpang. Aku mengambil kursi dekat dengan jendela agar bisa menikmati pemandangan jalan di malam hari. “ OTW Bojonegoro; Jogja akan selalu dirindukan.” Aku kirimkan kata-kata itu kepada seorang gadis sebagai kabar yang mungkin tidak ia inginkan.

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro

Cangaan, sebuah desa yang terletak di pinggiran Bengawan Solo, mungkin masih asing di telinga sebagian orang di Kabupaten Bojonegoro. Desa yang terletak di Kecamatan Kanor ini termasuk desa yang menjadi langganan banjir ketika musim hujan tiba. Bagi warga kecamatan kanor dan sekitarnya, Cangaan selain terkenal sebagai desa langganan banjir juga terkenal karena kondisi jalan yang jelek, becek berlumpur ketika musim hujan tiba, dan berdebu ketika musim kemarau. Namun tampaknya identitas Canga’an sebagai desa langganan banjir dan desa dengan struktur jalan yang jelek telah ditinggalkan seiring dengan laju pembangunan di Bojonegoro. Di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo kini telah dibangun tanggul yang cukup tinggi – kira-kira lima meter – dan cukup untuk menahan arus sungai tidak meluber ke rumah warga. Jalan-jalan desa pun sudah mulai baik hasil dari program pavingisasi Bupati Suyoto. Lalu apa lagi yang terkenal dari desa ini?