Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro

Cangaan, sebuah desa yang terletak di pinggiran Bengawan Solo, mungkin masih asing di telinga sebagian orang di Kabupaten Bojonegoro. Desa yang terletak di Kecamatan Kanor ini termasuk desa yang menjadi langganan banjir ketika musim hujan tiba. Bagi warga kecamatan kanor dan sekitarnya, Cangaan selain terkenal sebagai desa langganan banjir juga terkenal karena kondisi jalan yang jelek, becek berlumpur ketika musim hujan tiba, dan berdebu ketika musim kemarau.
Namun tampaknya identitas Canga’an sebagai desa langganan banjir dan desa dengan struktur jalan yang jelek telah ditinggalkan seiring dengan laju pembangunan di Bojonegoro. Di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo kini telah dibangun tanggul yang cukup tinggi – kira-kira lima meter – dan cukup untuk menahan arus sungai tidak meluber ke rumah warga. Jalan-jalan desa pun sudah mulai baik hasil dari program pavingisasi Bupati Suyoto. Lalu apa lagi yang terkenal dari desa ini?

Mungkin masih belum banyak yang tahu, di desa ini terdapat sebuah masjid yang diyakini keberadaannya sebagai masjid tertua di Bojonegoro. Masjid Jami’ Nurul Huda, masjid yang dibangun pada tahun 1775 Masehi ini lebih tua dari Masjid Darussalam di Kota Bojonegoro yang dibangun pada tahun 1825 Masehi. Masjid Jami’ Nurul Huda dibangun oleh Ki Wiroyudo, salah seorang prajurit dari Solo yang melarikan diri dari kejaran tentara Belanda dengan mengarungi Sungai Bengawan Solo.

Mengenal Ki Wiroyudo
Ki Wiroyudo dikenal juga dengan nama Kyai Rowudo dan Kyai Suluk, kemudian setelah menunaikan ibadah haji bernama Haji Abdul Hamid. Ia lahir pada tahun 1681 Jawa atau 1740 Masehi. Ia adalah prajurit dari Solo yang melarikan diri dari kejaran tentara Belanda, ia mengarungi arus sungai dengan perahu getek hingga sampai di desa Cangaan.
Perjalanan Ki Wiroyudo menyusuri arus Sungai Bengawan Solo tidak dilakukan sendirian, tetapi bersama keluarga dan teman-temannya, diantara dari mereka adalah Daulat, Sibah, Ki Martoyudo, dan Seco. Tidak semuanya memilih Cangaan sebagai tempat tinggal, hanya Ki Wiroyudo dan Ki Martoyudo. Ada yang memilih tinggal di Desa Kedung Bondo, Desa Glagah Sari, dan Desa Kenongo Sari.
Ki Wiroyudo menikah dengan Karimah atau dikenal juga dengan nama Biyung Budri, anak dari Kyai Tibah yang juga merupakan pamannya sendiri. Dari Kyai Tibah juga Ki Wiroyudo belajar tentang ilmu agama. Dari pernikahan dengan Karimah, Ki Wiroyudo dianugerahi sembilan anak, yaitu Nyai Budri, Kafidin Wirodiwiryo, Kariman Cokroyudo,  Samidin Bendul Noto Menggolo, Nyai Setroyudo, Kabirah, Khatijah, Kartinah, dan Cawek.
Kehadiran Ki Wiroyudo menambah semangat atas tersebarnya syiar Islam di Desa Cangaan sekaligus meringankan beban Kyai Tibah dan Kyai Setro Sukun. Ki Wiroyudo, atas dorongan Kyai Tibah, adalah pemrakarsa pembangunan masjid di Cangaan, ia juga mampu menghimpun masyarakat desa untuk bergotong royong membangun masjid yang kelak akan menjadi masjid tertua di Kabupaten Bojonegoro.
Ki Wiroyudo hidup hingga usia 116 tahun dan makamnya terletak di Kramat Mojo, namun hingga kini tidak diketahui di mana letak makam Kramat Mojo.

Masjid Jami’ Nurul Huda
Masjid Jami’ Nurul Huda dibangun pada tahun 1775 M dan tidak lebih dari itu, begitu menurut catatan yang ditulis oleh H. Sururi Djufi (alm), salah seorang tokoh di desa Cangaan. Diceritakan dalam catatan itu, pada awal berdirinya, masjid ini berukuran 10 x 11 meter, dengan tinggi 7,5 meter, terdiri dari rangka kayu jati yang diambilkan dari hutan di sebelah selatan Desa Sumberrejo. Atap masjid terbuat dari daun-daun ilalang kering yang disusun rapi. Kondisi seperti ini berjalan kira-kira hingga 50 tahun.
Renovasi pertama masjid pertama dilakukan oleh Setroyudo, putra dari Kyai Setro Sukun. Ia mengganti namannya menjadi Haji Abdul Kadir setelah menunaikan ibadah haji. Setroyudo tidak puas melihat masjid yang masih beratapkan daun ilalang kering dan kulit kayu jati. Ia bersama dengan Reso Wijoyo, kakak tertuanya yang juga menjabat Kepala Desa Cangaan, menginisiasi penggantian atap masjid.
Setelah penggantian atap, renovasi dilanjutkan dengan pemasangan dinding keliling beserta pintu dan jendela yang dilakukan oleh Astrowijoyo dan Nur Hasyim Sastro Dipuro, kakak beradik putra Reso Wijoyo. Renovasi itu dilakukan pada 1 Muharram 1262 H, atau 1 suro 1771 Jawa, sebagaimana yang tertulis pada prasasti yang terletak di atas pintu tengah masjid, prasasti itu sampai sekarang masih bisa kita lihat keberadaannya.

Masjid Tertua
Masjid Jami’ Nurul Huda adalah masjid tertua di Kabupaten Bojonegoro. Menurut catatan yang ditulis oleh H. Sururi Djufri (alm), masjid ini dibangun pada tahun 1775 M. ini berbeda dengan versi dari Pemkab Bojonegoro[1] yang mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1262 H atau 1771 M. Kalau kita kembali merujuk pada catatan H. Sururi (alm), tahun itu merupakan tahun selesainya pemasangan dinding masjid keliling pada saat renovasi oleh Astrowijoyo dan Nur Hasyim Sastro Dipuro, dan bukan pada tahun 1771 M tetapi pada tahun 1771 Jawa.
Masjid Jami’ Nurul Huda dibangun jauh mendahului Masjid Darussalam di Kota Bojonegoro yang dibangun pada tahun 1825 M. Peninggalan-peninggalan sejarah memang tidak banyak yang kita jumpai, hanya ada beberapa kayu jati dan prasasti bertuliskan tahun renovasi 1 Muharram 1262 H di atas pintu tengah masjid.
Kini kita tahu setelah tidak lagi menjadi langganan banjir dan jalanan sudah mulai baik, masih ada Masjid Jami’ Nurul Huda yang menjadi kebanggan Desa Cangaan sebagai masjid tertua di Kabupaten Bojonegoro.



[1] http://bojonegorokab.go.id/sejarah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?