Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Awalnya hanyalah Majelis Penyelamat Organisasi. Dibentuk oleh beberapa kader untuk menyelamatkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari kooptasi Orde Baru. Jalan diplomasi mereka tempuh, mempertanyakan sikap Pengurus Besar (PB) HMI yang mengubah asas Islam menjadi Pancasila, namun apa daya, aksi mereka tidak ditanggapi positif oleh PB HMI. PB HMI lebih mengakomodir tekanan pemerintah orde baru dari pada sikap beberapa cabang yang menolak asas tunggal Pancasila. Perpecahan pun tak dapat dielakkan, HMI pun menjadi dua.
Perpecahan itu terjadi pada tahun 1985. Kongres HMI ke-16 pada tahun 1986 diadakan di dua tempat, yaitu Padang sebagai tempat kongres HMI dengan asas Pancasila dan Yogyakarta sebagai tempat HMI dengan asas Islam. Di dua kongres itulah perpecahan HMI mengkristal. HMI resmi menjadi dua, HMI dengan asas Pancasila yang kemudian terkenal dengan HMI Dipo – merujuk kepada alamat sekretariat PB HMI di Jalan Diponegoro Jakarta, dan HMI dengan asas Islam yang diisi oleh cabang-cabang yang tergabung dengan Majelis Penyelamat Organisasi yang kemudian terkenal dengan HMI MPO.

Memang tidak banyak cabang yang tergabung dalam HMI MPO. Pada awalnya saja hanya ada 13 cabang. Namun konsistensi dalam mempertahankan idealisme perjuangan telah mengantarkan HMI MPO bisa bertahan hingga sekarang. Otoritarianisme orde baru tidak mampu meruntuhkan semangat kader-kader HMI MPO untuk berpindah haluan, meskipun banyak diantara mereka yang keluar-masuk penjara, bahkan tidak sedikit juga yang harus melarikan diri hingga ke luar negeri.
Sedangkan HMI Dipo, konon katanya setelah rezim orde baru runtuh, mereka telah kembali ke asas Islam. Sebagai bagian dari dinamika organisasi, kembalinya HMi Dipo ke asas Islam haruslah kita apresiasi, meskipun tidak sedikit yang mencibir sikap HMI Dipo yang tidak konsisten.
Lalu, kini, setelah dua HMI sama-sama berasaskan Islam, apakah tidak sebaiknya bersatu alias islah? Pertanyaan ini banyak terlontar, baik dari kader-kader HMI Dipo atau HMI MPO. Bahkan tidak sedikit alumni masa perpecahan yang ingin menyatukan lagi dua HMI ini.
Islah, Jalan Panjang yang Mungkin (Buntu)
Upaya islah yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk menyatukan dua HMI – HMI MPO dan HMI Dipo – bukanlah sesuatu hal yang mudah. Apalagi dua organisasi ini semakin berkembang dengan idealisme dan sejarahnya masing-masing. Lahirnya Khittah Perjuangan sebagai manhaj perjuangan HMI MPO, menggantikan Nilai Dasar Perjuangan (NDP), semakin mempertegas perbedaan dua HMI ini sekaligus menjadi tembok pembatas yang kokoh. Adanya Khittah Perjuangan pada HMI MPO dan NDP pada HMI Dipo telah membuat kultur atau laku organisasi juga berbeda.
Selain perpedaan tentang cara pandang, konteks historis akibat perpecahan juga harus diperhatikan. Cerita-cerita tentang senior-senior yang dikejar-kejar oleh aparat, digrebek ketika mengadakan pelatihan-pelatihan, hingga harus keluar masuk penjara secara tanpa sadar telah mewariskan luka kepada generasi sekarang. Sehingga materi Sejarah HMI menjadi materi favorit di setiap Latihan Kader (LK) I HMI MPO. Sebaliknya di LK I HMI Dipo tidak disebutkan tentang sejarah perpecahan HMI, atau mungkin disebutkan tentang sejarah perpecahan tetapi dengan porsi waktu yang terbatas.
Dalam kongres HMI Dipo di Palembang pada 2008, sempat muncul isu islah, hal ini diakibatkan oleh kehadiran Ketua Umum PB HMI MPO, Syahrul Efendi Dasopang, di forum kongres. Kongres yang juga dihadiri langsung oleh Wakil Presiden kala itu, Jusuf Kalla. Namun isu adanya islah dibantah oleh Syahrul sendiri. Ia mengatakan bahwa islah saat itu hanyalah islah moral sebagai syiar Islam, bukan islah secara organisasi.
Penulis sendiri beberapa kali mendengar secara langsung adanya beberapa alumni HMI yang menyarankan untuk islah, tidak hanya alumni sebelum perpecahan, tetapi juga beberapa alumni pasca perpecahan. Ada beberapa alumni yang mempunyai alasan secara ideologis, biasanya mereka melihat bahwa HMI MPO dan HMI Dipo sekarang telah sama-sama memakai azas Islam, selain itu juga ada yang hanya beralasan pragmatis, agar HMI bertambah besar dan kuat.
Di saat isu islah berhembus semakin kencang, di sisi yang lain, konflik-konflik malah banyak terjadi terutama di tubuh HMI Dipo. Pada kongres tahun 2013 yang diselenggarakan di Jakarta, yang berlangsung kurang lebih selama satu bulan, yang melahirkan Arif Rosyid sebagai ketua umum PB HMI Dipo, ternyata menyisakan masalah ketika beberapa cabang memutuskan untuk mengadakan kongres lanjutan di Malang, yang kemudian melahirkan Adi Baiquni sebagai ketua umum. Selanjutnya muncul cabang-cabang tandingan bentukan PB HMI Dipo versi Adi Baiquni
Kericuhan juga terjadi di kongres 2015 di Pekanbaru. Kongres yang katanya menghabiskan anggaran 3 milyar lebih ini memang tidak sampai molor hingga satu bulan, tetapi suasana panas yang berujung pada bentorkan antar peserta kongres tetap menjadi bumbu kongres. Media-media nasional ramai memberitakan sisi-sisi negatif dari kongres HMI Dipo ini, baik di luar forum kongres maupun di dalam forum kongres.
Konflik sejatinya juga terjadi pada tubuh HMI MPO, tetapi konflik tidak berdampak luas seperti HMI Dipo. Setidaknya pada HMI MPO, konflik tidak memunculkan PB atau cabang-cabang tandingan. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh minimnya prestise yang ditawarkan oleh HMI MPO dibandingkan dengan HMI Dipo.
Islah memang baik, apalagi dilakukan dengan niat yang baik, tidak atas tendensi politik atau karena intervensi pihak luar termasuk alumni. Oleh karena itu islah harus diinisiasi sendiri oleh pelaku sejarah organisasi, yaitu PB HMI MPO dan PB HMI Dipo dengan melibatkan cabang-cabangnya. Selain itu, islah bukan semudah membalikkan telapak tangan, sehingga ia adalah sebuah jalan panjang bagi pihak-pihak yang ingin menyatukan dua HMI ini. sebagai sebuah jalan panjang, bisa jadi ia tidak berujung atau malah menemui jalan buntu. Mengingat dua HMI ini sekarang telah berkembang dengan tradisinya masing-masing.
Tidak Perlu Islah, Perkuat Silaturrahmi
Melihat beberapa hal di atas, penulis melihat sulitnya HMI MPO dan HMI Dipo bersatu lagi selain terkait alasan ideologis juga karena faktor internal organisasi yang semakin hari semakin banyak konflik yang muncul, terutama pada HMI Dipo. Bagaimana mungkin bisa islah ketika kemudian muncul lagi HMI yang baru? hal inilah yang perlu di perhatikan oleh PB HMI baik MPO maupun Dipo
Sebagai bagian dari HMI MPO, penulis berpendapat bahwa HMI MPO dan HMI Dipo tidak perlu islah, tetapi cukup memperkuat tali silaturrahmi. Tingkatkan konsolidasi bersama dan tentunya juga dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan yang lain. Seperti yang penulis katakan di atas, islah bisa jadi hanya akan menemui jalan buntu, meskipun semua itu masih serba mungkin. Mungkin islah, mungkin terpecah lebih banyak lagi, dan mungkin akan mati mendahului organisasi-organisasi kemahasiswaan yang lain.

Pernah suatu hari, penulis mendapati sebuah cerita dari seorang pengader yang memandu LK I salah satu komisariat di Yogyakarta. Ia bercerita kalau ada salah satu alumni komisariat yang berkunjung di lokasi LK I dan mengatakan padanya kalau HMI MPO dan Dipo tidak perlu islah, malah kalau bisa pecah lagi, biar HMI tambah banyak. Karena itu berarti semakin banyak wadah bagi mahasiswa untuk berorganisasi dengan membawa tradisi HMI.

Komentar

Unknown mengatakan…
Pak muhtar ini memang jozzz
Unknown mengatakan…
Pak muhtar ini memang jozzz

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro