Menikmati Hidup

       Status sosial tidak bisa menghalangi orang untuk bahagia karena kebahagiaan adalah hak semua orang dan setiap orang berhak bahagia dengan segala “keterbatasannya”. 
       Hari ini saya melihat sebuah fenomena sosial dimana ada seorang bapak dengan gerobak sampahnya masih menyempatkan diri untuk mengurusi anaknya. Bisa saya pastikan bahwa keseharian dari bapak itu bekerja mengambil sampah. Sesuatu yang mungkin sulit dikerjakan oleh para pejabat ataupun para pengusaha-pengusaha yang sibuk dengan pekerjaannya, dimana dia bisa menyisakan waktunya untuk anaknya. Dalam peristiwa yang saya saksikan langsung tersebut terlihat jelas bagaimana bapak itu sedang istirahat disamping pagar kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan menggendong anaknya dengan sekali-kali dia menciumi buah hatinya tersebut. Dalam pikiran saya dalam perjalanan bapak itu, anaknya tersebut akan dia taruh didalam gerobak sampah yang pastinya berteman dengan sampah-sampah yang dia pungut dari rumah-rumah ataupun kos-kosan disekitar kampus. 
       Apa yang saya lihat tersebut menggambarkan bagaimana bapak beserta anaknya begitu menikmati hidup sebagai keluarga “pemungut sampah,” status sosial yang bagi sebagian orang adalah status yang rendah sebagaimana sampah yang setiap hari dia pungut. Namun kalau kita melihat kebahagiaan yang mereka tunjukkan tentu ini adalah ironi kehidupan, dimana banyak orang mengejar status sosial, entah itu dengan kekayaan ataupun jabatan, ternyata itu tidak cukup memberi kebahagiaan dan bahkan mungkin malah sebaliknya. Inilah mungkin yang saya pahami tentang konsep “nerimo” atau bahasa islaminya “syukur.”
         Kebahagiaan adalah puncak dari sebuah kehidupan dan kebahagiaan itu tergantung dengan bagaimana kita bisa menikmati proses kehidupan ini. Sekaya apapun dia, setinggi apapun jabatannya, kalau dia tidak bisa menikmati itu semua tentu yang ada hanyalah rasa kurang maka dia akan terus memperkaya diri atau mempertinggi jabatannya. Terus-menerus seperti itu. dan kebahagiaan akan semakin menjauh karena yang ada hanyalah rasa gelisah akan segala kekurangannya. Apa yang terjadi dengan keluarga “pemungut sampah” tersebut bisa kita jadikan contoh untuk berproses dalam kehidupan ini. Bagaimana kita bisa menikmati hidup dengan segala keterbatasan yang ada pada dalam diri kita dan bagaimana dengan keterbatasan itu bisa membawa kita melewati lika-liku kehidupan. Bukan keterbatasan yang membuat kita pasrah dan menyerah. (Yogyakarta, 21 Juni 2012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro