BERBAHAGIALAH KAU YANG MATI MUDA
Pernah
kita bersama-sama berangkat ke Jakarta dengan kereta. Kita satu gerbong dan kau
hampir saja ketinggalan kereta. Kalau kedatanganmu waktu itu di Stasiun Lempuyangan
telat satu menit saja, ceritanya mungkin akan berbeda. Kau tidak jadi ke
Jakarta, itu berarti kau tidak mengikuti kongres HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang ke-30, kemudian kau
tidak datang saat aku wisuda, dan untuk saat sekarang kau masih mengikuti
rapat-rapat tim Latihan Kader II di Semarang. Tapi, itu hanyalah pengandaian.
Karena kenyataannya kau hanya hampir terlambat naik kereta, kau datang saat aku
wisuda, dan kau sekarang malah menghilang tertelan ombak Pantai Sepanjang.
Aku
masih ingat obrolan kita di kereta ketika itu, salah satunya adalah obrolan tentang
romantisme. Berbeda dengan romantisme yang disampaikan oleh Richard Haig di
film How to Make Love Like an Englishman, romantisme yang kita bahas
waktu itu seperti angan-angan atau imajinasi. Kenapa? Karena kita hanyalah
lelaki jomblo. Tetapi aku yakin kau akan sepakat kalau lelaki jomblo sekalipun
juga punya hak untuk romantis. Waktu itu aku sampaikan padamu bawa ada dua
waktu di mana romantisme itu muncul, yang pertama ketika senja, dan yang kedua
ketika hujan. Untuk yang pertama aku tidak menjelaskan alasannya, karena kau
langsung membuktikannya dengan mengamati senja dari jendela kereta. Aku ingat
apa yang kau katakan waktu itu “….indah sekali.” Tetapi yang kedua aku sengaja
menunda jawaban tentang alasanku itu, aku katakan padamu bahwa jawabannya
nanti.
Kini,
setelah berselang beberapa minggu, ku sampaikan padamu tentang hujan yang dulu ku
katakan sebagai saat yang paling romantis. Tentu ini bukan karena ciuman Rahul
dengan Aarohi dalam film Ashiqui II, atau karena novel yang ditulis oleh Lan
Fang yang berjudul “Ciuman di Bawah Hujan.” Tetapi ini adalah pengalaman
seorang pengembara jiwa yang sedang mencari dan menuju kembaranya. Ini adalah
pengalaman sang perindu. Kau tahu di satu butiran hujan yang menetes ke tanah
serupa dengan pertemuan sepasang kekasih yang telah terpisah jaunya jarak dan
lamanya waktu. Cobalah kau dengar gemercik air hujan, maka kau akan mendengar
nyanyian bahagia pasangan kekasih itu.
*****
Namun
sayang sekali, jawabanku itu aku sampaikan setelah kau tiada. Setelah kau
menghilang terseret ombak Pantai
Sepanjang. Namun aku yakin kau masih mendengar jawabanku itu. Aku berharap kau
tidak hanya mendengar, tetapi juga memberi tanggapan, sebagaimana biasanya
ketika kau menjadi teman diskusi yang baik. Mendengar dengan seksama kemudian
menanggapi dengan serius.
Belum
hilang dari ingatanku, ketika kita berkunjung ke rumah Kamal di Tangerang. Di
halaman rumanya, di bawah pohon kelapa, kita berdiskusi tentang dunia
kepenulisan. Aku mengatakan waktu itu bahwa tingkatan paling sulit dalam dunia
kepenulisan adalah menulis puisi. Tetapi kau mengatakan yang paling sulit
adalah menulis cerita pendek. Dan sekarang aku baru tahu kalau kau baru saja
meluncurkan auntologi puisi beberapa hari sebelum kau menghilang. Yah, tentu
saja bagi seseorang yang sudah biasa menulis puisi tentu tidaklah sulit untuk
menulis puisi.
Diskusi
waktu itu memang sebentar. Kopi kita saja waktu itu belum sempat habis. Namun,
selalu akan ada hal-hal yang terkenang dari setiap perjumpaan kita dengan
orang-orang yang luar biasa. Dan bagiku kau termasuk orang-orang yang luar
biasa.
Kau
memang teman diskusi yang baik. Itu yang aku suka darimu. Kau akan menunggu
lawan bicaramu benar-benar selesai bicara, baru setelah itu kau akan memberi
tanggapan. Kesan itulah yang aku dapatkan darimu sejak kita pertama bertemu di
acara Senior Course (SC) Wonosobo sekitar 4 tahun yang lalu hingga kita
terakhir bertemu di Burjo Pribumi sehari setelah aku wisuda, 29 November 2015.
*****
Beberapa
waktu yang lalu, entah kapan pastinya, ada seorang kawan yang memperingatkanku
akan kematian Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Gie meninggal pada usia 27 tahun dan
Wahib meninggal pada usia 31 tahun. Mereka meninggal di usia yang masih sangat
muda, usia-usia produktif. Mereka meninggal bersama dengan idealisme yang
mereka yakini.
Ia
bilang “hati-hati bang, umurmu sudah mendekati umur Gie dan Wahib.”
“Lo,
kenapa?”
“Jangan
sampai kau mengikuti jejak mereka bang, mati muda.”
Aku
hanya tersenyum mendengar apa yang ia katakan. Tentang kematian, siapa yang
bisa menduga? Kematian adalah kepastian, tetapi waktunya? wallahu a’lam. Profesor
Yudian yang mempunyai motto hidup “selamat datang kematian” pun aku yakin juga
tidak tahu kapan beliau akan meninggal.
Karena
itulah orang-orang di sekitarmu baru bisa membuat cerita-cerita tentang segala
bentuk keanehan yang kau buat setelah kau tiada. Ada yang mengatakan beberapa
hari sebelum kau ditelan ombak, kau melukis sebuah kuburan dengan bulan purnama
di atasnya. Lukisan itu kemudian ditafsirkan sebagai tanda kematianmu. Mereka baru
bisa mengatakan bahwa itu adalah tanda kematian setelah kau tiada.
Apakah
kau sudah tahu bahwa hari itu adalah hari kematianmu? Ah….ternyata kami hanya
membuat asumsi-asumsi dengan rumus “kebetulan.” Kau mungkin saja sedang tertawa
melihat kami sibuk dengan cerita-cerita “kebetulan.” Ya…kebetulan di foto itu
kalian mempunyai gaya yang sama. Tetapi itulah kelemahan kami yang tidak tahu
kapan datangnya kematian. Kami tidak memiliki ilmu weruh sadurunge winarah.
Sehingga kami hanya bisa merangkai cerita-cerita dengan rumus “kebetulan.”
Kini kami harus sadar bahwa kau memang harus
pergi. Kami tidak perlu berlama-lama dengan rumus “kebetulan”, kami harus
mengantarmu pergi, mengikuti jejak Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, orang-orang
idealis yang harus mati muda. Orang-orang yang mati muda dengan membawa
idealisme adalah orang-orang pilihan, maka berbahagialah. Seperti apa yang dikatakan
oleh Gie mengutip dari filsuf Yunani “… bahagialah mereka yang mati muda.” Maka
bahagialah kau yang mati muda, cita-citamu tidak akan terkubur, karena kami
akan berusaha untuk mewujudkannya.
Bojonegoro, 18 Januari 2016
Komentar