CERITA SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA TENTANG MENDIANG SUAMINYA

Sore ini hujan turun deras sekali. Hari sudah semakin gelap, namun tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Sudah semenjak asar tadi hujan turun, mungkin jalanan sekarang mulai becek karena air hujan. Atau banyak buah mangga berjatuhan di sekitar pohonnya karena goyangan angin yang tadi sempat bertiup kencang. Mungkin juga di rumah-rumah, penduduk desa banyak yang menggerutu karena padinya yang baru di tanam tenggelam akibat banjir yang melanda sawah mereka. Lalu, siapa yang masih berbahagia di tengah hujan yang turun deras sekali ini?
Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa di saat-saat seperti ini, kodoklah makhluk yang paling bahagia. Mereka menganggap bahwa suara kodok di kala hujan itu adalah nyanyian kebahagiaan. Apakah mereka mengerti dengan bahasa kodok? Bukankah hanya Nabi Sulaiman yang bisa mengerti tentang bahasa binatang? Pastinya mereka hanya menebak saja. Mereka mengira setiap bunyi yang keluar dari binatang adalah nyanyian kebahagiaan, padahal siapa yang tahu kalau binatang itu menangis? Manusia memang seringkali egois dalam menilai sesuatu, bahkan ketika ia menilai sesama manusia.

Hujan turun semakin deras. Tetapi angin tidak lagi bertiup kencang, juga petir yang tidak ada gemuruhnya. Hanya suara rintik hujan dan bau basah tanah yang menjadikan suasana sore itu menjadi hidup. Dalam suasana seperti ini apa yang lebih indah selain mengungkit sebuah kenangan? Itulah mungkin yang ada di benak ibu tua yang tinggal di sebuah rumah tua yang terletak di sebelah timur sungai Bengawan Solo. Dengan album foto di tangan, ibu itu masih dengan tatapan kosong. Duduk di atas ranjang tua yang tidak akan mungkin bisa ditemui lagi di toko-toko tempat jualan perkakas rumah. Rambut yang sudah beruban ia biarkan terurai, wajahnya sudah sangat keriput seakan menandakan bahwa ia adalah nenek dengan banyak cucu, padahal ia hanya mempunyai tiga cucu. Diantara sepuluh anak yang telah ia lahirkan, baru empat yang menikah. Ibu itu sedang mengingat mendiang suaminya yang telah meninggalkannya enam tahun yang lalu. Bersama dengan anak lelakinya yang baru saja tiba dari Yogyakarta.
Tiba-tiba dari bibirnya yang pucat keluar sebuah cerita tentang mendiang suaminya.
“Bapakmu adalah seorang pemberani, pantas saja kalau ia mendapatkan posisi terhormat di desa ini. Keberanian bapakmu itu hanya didasari oleh satu hal, kebenaran! Kamu tentu ingat nak, ketika ia di rumah ini didatangi oleh dua orang yang ingin mengambil alih kepemilikan sekolah dan masjid, tidak hanya berdua, mereka membawa ratusan orang di luar rumah yang disuruhnya melakukan aksi demonstrasi. Tetapi bapakmu tetap tenang, ia hadapi sendiri orang-orang itu. Tentu nak, bukan dengan berkelahi, karena berkelahi adalah tindakan orang-orang yang berakal pendek. Ia jelaskan tentang status sekolah dan masjid, bahwa itu semua adalah milik umat, sehingga tidak boleh dimiliki oleh pribadi atau oleh satu kelompok tertentu.”
“Keberanian bapakmu itu sudah terlihat sejak dia belum menjadi siapa-siapa nak.” Ibu itu melanjutkan ceritanya. “Bapakmu dulu pernah melerai orang yang sedang bertengkar di tengah jalan, padahal mereka berbadan tinggi besar, sedangkan bapakmu kan kecil, tetapi ia tidak takut nak. Ya, karena benar bapakmu berani.”
*****
Hujan mulai mereda, suara kemrecehnya terdengar beriringan dengan deru motor di luar rumah. ternyata orang-orang sudah mulai beraktivitas kembali di jalan, mungkin mereka adalah orang-orang desa seberang yang baru pulang dari bekerja. Mereka harus melewati desa ini karena jaraknya lebih dekat, walaupun mereka harus menyeberangi sungai Bengawan Solo yang pastinya ketika musim hujan seperti ini debit airnya naik. Mereka sebenarnya bisa mengambil jalan memutar, tetapi itu membutuhkan waktu setidaknya sejam untuk sampai di tempat mereka bekerja, sedangkan kalau melalui desa ini hanya butuh waktu 20 menit.
Sambil melihat foto-foto yang masih terawat dengan baik, ibu tua itu melanjutkan cerita tentang suaminya.
“Walaupun dia menjadi orang yang terhormat, terpandang tidak hanya di desa, bahkan sampai kabupaten, ia tidak pernah menduduki jababatan yang penting, baik di partai maupun di desa atau di kabupaten, ia lebih memilih menjadi ketua takmir masjid. Bapakmu dulu pernah diminta menjadi pengurus partai hijau, tetapi dia menolak. Tawaran untuk menduduki jabatan tidak datang sekali, tetapi berkali-kali, namun ia selalu menolak. Meskipun bukan pejabat nak, rumah bapakmu ini sering dikunjungi pejabat, bahkan bupati pun pernah datang ke rumah ini. Dulu rumah ini tidak pernah sepi, karena bapakmu dekat dengan banyak orang, dari yang pejabat sampai masyarakat biasa.”
Ibu itu lantas mencoba membangunkan ingatan anaknya ketika di akhir tahun 1990an, ketika Bupati H. Atlan datang ke rumah itu untuk memberikan bantuan kepada salah satu penduduk desa yang keluarganya menjadi korban dari bencana banjir. “Bukan di rumah Kepala Desa nak, tetapi di rumah ini.” kata ibu itu kepada anaknya.
*****
Hujan benar-benar telah berhenti. Namun di luar gelap mulai menghampiri, dan perlahan-lahan mulai masuk kedalam rumah. Lampu-lampu rumah pun mulai dinyalakan untuk mengusir kegelapan. Suara Muammar melantunkan ayat suci Al Qur’an mulai terdengar dari masjid yang berada tidak jauh dari rumah itu. Dan ibu itu masih dengan cerita tentang mendiang suaminya.
“Nak, kalau bapakmu terkenal, maka itu adalah karena perjuangannya. Makanya ia dikenal sebagai seorang pejuang. Ketika pengadilan memenangkan gugatan salah satu kelompok yang menginginkan sekolah itu dimiliki secara pribadi, bapakmu langsung mewakafkan tanahnya untuk dibangunkan sekolah. Ya, sekolah milik umat nak. Bapakmu kalau berjuang tidak tanggung-tanggung nak, apa yang ia miliki akan ia keluarkan demi umat. Ia juga pernah mewakafkan sebidang tanah untuk pembangunan sebuah masjid. Makanya tugasmu sekarang adalah melanjutkan perjuangan bapakmu, berjuang demi kepentingan umat, bukan kelompok. Berjuang atas nama kebenaran.”
Azan magrib telah berkumandang. Ibu itu pun beranjak dari ranjang tuanya untuk mengambil air wudlu dan mengakhiri cerita tentang suaminya. Sebelum kaki menyentuh lantai, datang anak perempuannya yang terakhir untuk mengadu.
“Ibu, saya besok mau balik ke Surabaya. Kuliah sudah mulai masuk.”

Dan Ibu itu pun kembali dengan tatapan kosong, membayangkan bahwa rumah akan kembali sepi. Rumah yang dulu selalu ramai, perlahan mulai ditinggal oleh penghuninya. Kembali ia mengingat suaminya, dan membayangkan kalau anak lelakinya yang sedari tadi mendengar ceritanya akan juga menyusul balik ke Yogyakarta. Tinggallah nanti ia bersama dengan kesepian. Dan hujan pun turun, menyapa jiwa-jiwa yang dilanda kesepian. 

Bojonegoro, 2 Februari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro