Ketika Facebook Menjadi Menyeramkan

Setelah ramai dengan berita tentang bangkitnya komunisme, memasuki Bulan Ramadhan, dunia media sosial, khusunya Facebook kembali ramai, bukan karena iklan jilbab syar’i, tetapi berita sweeping oleh Satpol PP di Serang, Banten, terhadap para pedagang yang nekat membuka warungnya di siang hari. Seperti biasa, ada yang membela Satpol PP dan ada juga yang tidak setuju dengan perilaku Satpol PP tersebut. Dalil-dalil agama kemudian dimunculkan untuk menjustifikasi kebenaran masing-masing kelompok.
Kalau perdebatan antara pihak yang pro dan yang kontra dibawa ke ranah akademis mungkin akan lebih menarik daripada digulirkan di Facebook. Karena yang terjadi adalah orang-orang awam dengan mudah bisa mengonsumsi dan membenarkannya, kemudian ikut-ikutan membuat status atau memberi komentar, meskipun sebenarnya mereka tidak memahaminya secara utuh.
Terlepas dari urusan hormat-menghormati yang ramai diperbincangkan selepas peristiwa sweeping itu, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik. Facebook, sebagai media sosial terbesar dengan pengguna terbanyak, kini tidak lagi menawarkan fasilitas pertemenan atau silaturrahmi, dia kini menjelma sebagai media provokatif yang berpotensi menumbuhkan benih kebencian.
Selain topik tentang sweeping yang dilakukan oleh Satpol PP terhadap warung makan yang buka siang hari di bulan ramadahan, coba kita mengingat kembali Pemilu Presiden 2014, Facebook menjadi media yang ampuh untuk menyebar segala bentuk kampanye negatif, kampanye yang menyudutkan salah satu calon. Fitnah disebar oleh akun-akun yang tidak bertanggungjawab. Tujuannya satu, meruntuhkan citra sang rival untuk memenangkan calon yang didukung.
Selain menjadi tempat berkampanye, Facebook juga menjadi tempat yang efektif untuk menyebar virus kebencian di tengah umat. Provokasi-provokasi bernada SARA kerap kita temukan, entah itu berupa status atau tautan berita. Menghina satu agama atau kelompok tertentu menjadi fenomena yang biasa kita temukan, ironisnya hinaan atau cercaan itu didasarkan atas kitab suci yang mereka yakini kebenarannya, padahal sebenarnya hal itu hanya berdasarkan atas nafsu kebencian yang mungkin telah mendarah daging pada si pembuat status.
Kini dunia Facebook telah menjadi dunia yang bising, penuh dengan suara-suara bernada kebencian. Bisa jadi ini adalah potret dari masyarakat negeri yang sudah mulai berubah, suka menebar fitnah dan kebencian, karena status-status itu sejatinya adalah jawaban dari pertanyaan yang selalu muncul di wall facebook “apa yang anda pikirkan.” Bisa jadi yang dipikirkan oleh mereka, penyebar status-status bernada kebencian, selalu tentang kebecian.
Mungkin sekali waktu, di wall  pengguna, Facebook perlu bertanya “apa yang anda rasakan?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro