Jogja Yang Santai Akan Selalu Dirindukan
Tengah
malam aku memutuskan untuk pulang ke Bojonegoro. Diantar Rusdi menunggu bus di
bawah Jembatan Layang Janti. Selalu bus Sugeng Rahayu yang aku tunggu, meskipun
pada akhirnya bus Miralah yang aku tumpangi hingga Kota Ngawi. Yogyakarta
tampak indah di tengah malam, jalanan sepi dengan berhiaskan lampu-lampu yang
cukup untuk menggantikan purnama sebagai cahaya di malam hari.
Aku
tidak sempat melihat jam yang ada di handphone ketika bus Mira tiba di
depanku, sejenak aku berpamitan dengan Rusdi sebelum aku masuk ke dalam bus.
Seperti biasanya ketika aku pulang kampung di malam hari, bus selalu sepi dari
penumpang. Aku mengambil kursi dekat dengan jendela agar bisa menikmati
pemandangan jalan di malam hari. “OTW Bojonegoro; Jogja akan selalu
dirindukan.” Aku kirimkan kata-kata itu kepada seorang gadis sebagai kabar yang
mungkin tidak ia inginkan.
Yogyakarta,
akan selalu dirindukan bagi siapa saja yang pernah menyapa. Kenangan di kota
ini menjadikan hari-hari berjalan dengan lambat, menyapa satu demi satu yang
tertinggal dari masa lalu. Dulu aku pernah membantu seorang gadis membuat
status Facebook tentang Yogyakarta, “Siapa yang pernah ke Jogja, pasti ingin
kembali.” Status itu ia buat ketika kami mengunjungi Kedai Wedangan Watu
Lumbung, yang terletak kira-kira satu kilometer dari Pantai Prangtritis.
Mungkin ia lupa dengan status itu.
Perjalananku
malam itu terbilang lancar. Jalanan sepi, kontras dengan apa yang aku lihat
siang tadi, macet, bukan karena habis hujan, tetapi karena padatnya kendaraan.
Beberapa hari yang lalu, ketika akan menghadiri acara burdahan di Masjid
Jenderal Sudirman, Yogyakarta, aku merasakan Jalan Solo penuh dengan kendaraan
yang merayap, sejak dari kampus UIN Sunan Kalijaga hingga perempatan lampu
merah.
Tentang
Yogyakarta yang semakin macet, aku teringat obrolanku dengan wisatawan asal
Jakarta yang kebetulan bertemu di sebuah angkringan dekat Stasiun Tugu. Ia suka
dengan suasana Jogja yang dulu, yang santai dan nyaman. Menurut wisatawan yang
kebetulan datang bersama istrinya itu, kini Jogja tidak lagi santai karena
jalan-jalannya mulai akrab dengan kemacetan.
Kemacetan
adalah konsekuensi dari pembangunan yang massif dilakukan di kota pendidikan
ini. Hotel-hotel tak lagi bisa ku hitung, tempat-tempat perbelanjaan alias mall
semakin menjamur, tempat-tempat hiburan membanjiri hingga ke pojok-pojok
kampung. Dan aku belum melihat geliat pemerintah Yogyakarta menanggulangi
masalah ini, memang aku sempat melihat ada wajah baru Bus Transjogja yang
berwarna biru, tetapi bagaimana dengan izin pembangunan hotel, mall, tempat
hiburan, dan perumahan?
Bus
yang aku tumpangi melaju dengan kencang. Tidak ada pemandangan menarik di
pinggir-pinggir jalan. Saat-saat seperti ini aku merindukan kehadiran pengamen,
namun ini malam hari, jadi sangat jarang ada pengamen yang berkeliaran. Ya sudah,
aku tidur saja.
Komentar