Refleksi Kemerdekaan
Betapapun
buruknya kondisi negeri ini, ketahuilah bahwa dulu bangsa ini pernah besar.
Betapapun carut marutnya negeri ini, ketahuilah bahwa negeri ini dibangun
dengan cita-cita yang mulia. Betapapun banyaknya hutang yang dimiliki negara
ini, ketahuilah bahwa negara ini tersusun dari Sumber Daya Manusia (SDM) unggul
yang ratusan juta banyaknya dan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, di darat
dan di laut. Negeri ini hanya salah diurus saja.
Entah
siapa yang memulai, membangun negeri ini dengan pesimisme. Tidak percaya dengan
kemampuan sendiri hingga menjual harga diri ke luar negeri. Kita tentu ingat,
kenapa Bung Karno mendiamkan puluhan kilang minyak yang tersebar di negeri ini,
bukan karena kita tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan, tetapi
kita belum bisa mengelolanya, sehingga kita perlu mengirim anak-anak terbaik
bangsa belajar ke luar negeri untuk selanjutnya biar mereka yang mengurusnya.
Tetapi sebuah rezim yang rakus ternyata berbeda pendapat dengan Bung Karno.
Kilang minyak itu mereka serahkan ke asing tanpa ada kemauan untuk suatu saat
nanti dikelola sendiri, hingga kini, hingga sumber-sumber minyak itu tinggal
menunggu habis saja.
Pertanian
kita tidak lagi mampu menyuplai beras ke seluruh penjuru negeri. Negara agraris
yang bernasib tragis karena harus impor beras dari negara tetangga. Padahal,
ada suatu daerah di negeri ini, yang setiap panen, berasnya mampu untuk
mencukupi kebutuhan hidup selama tiga tahun. Di daerah itu, musim tanam hanya
sekali dalam setahun. Mereka membangun sistem pertanian dengan cara yang sangat
tradisional, tidak ada traktor, juga bahan-bahan kimia produk pabrik. Mereka
hanya mengikuti cara bertani yang diwariskan oleh leluhur.
Kesenjangan
semakin menganga. 10 persen orang kaya di negeri ini telah menguasai 70 persen
total kekayaan. Sistem distribusi ekonomi tidak berjalan. Kekayaan masih
menumpuk di segilintir orang saja. Dan Bapak Presiden mengatakan untuk
mengurangi kesenjangan, maka pembangunan harus digencarkan hingga ke pelosok
negeri. Pembangunan harus merata menjangkau ke luar jawa. Tetapi apakah dengan
pembangunan kesenjangan akan berkurang? Apakah tidak malah memperlebar jarak si
kaya dengan si miskin? Pembangunan yang hanya berorientasi pada infrastruktur,
tanpa menyentuh aspek kemanusiaan bukanlah solusi untuk mengurangi angka
kesenjangan.
Kini
optimisme coba dibangun oleh pemerintah. Namun, optimisme yang dibangun tanpa
kebijakan yang tepat sama saja dengan omong kosong. Optimisme itu hanya kedok
untuk penghisapan yang lebih massif terhadap kelompok minoritas dan tertindas. Kenapa
pemerintah begitu kukuh menjalankan proyek reklamasi di Jakarta dan di Bali,
sedangkan penduduk lokal menolaknya? Kenapa pemerintah tidak segera
menghentikan proyek pembangunan pabrik semen di Rembang, sedangkan masyarakat
lokal menolaknya? Kenapa harus menunggu hingga setahun untuk mengkaji terlebih
dahulu? Kenapa pemerintah mendiamkan pencaplokan demi pencaplokan lahan petani
di berbagai daerah? Lalu optimisme itu atas dasar apa? Apakah karena investor
asing sudah membuka diri untuk proyek listrik, proyek tol laut,dan
proyek-proyek yang lain?
Selama
kita masih berhasrat untuk membeli rumus-rumus asing – meminjam dari Rendra –
selamanya kita tidak akan merdeka. Hakekat kemerdekaan tidak terletak pada
angka-angka, tetapi terletak pada manusia sebagai pelaku sejarah. Pernahkah
kita berfikir orang-orang dari Suku Baduy dalam yang berjalan menyusuri
jalanan ibu kota berhasrat untuk menjadi seperti orang kota? Bukankah
mereka tetap tidak memakai sandal? Bukankah mereka tetapi berjalan kaki?
Bukankah mereka tetap tidak mengenyam pendidikan formal? Lalu apakah mereka
tidak merdeka? Lalu bagaimana dengan orang-orang kota yang sibuk mengikuti tren
yang dibangun oleh iklan?
Jangan-jangan
bangsa ini belum merdeka sejak pada diri pejabat-pejabatnya. Wallahu a’lam.
17 Agustus 2016
Komentar