Gus Dur; Sang Pembela Minoritas
Ratusan
ribu orang (ada yang menyebut jutaan) berkumpul di Tugu Monas pada Jum’at, 2
Desember 2016. Menamakan dirinya dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis
Ulama Indonesia atau GNPF MUI. Di bawah komando Habieb Rizieq, mereka menuntuk
Ahok segera diadili dalam kasus penistaan agama. Dalam situasi seperti ini,
Ahok seperti menjadi musuh bersama, meskipun tetap saja ada yang berpihak kepadanya
dengan reaksi yang berbeda.
Mereka
yang berkumpul itu meyakini ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada 30 september
2016 tentang Al Maidah ayat 51 termasuk menistakan agama, sehingga perlu bagi
mereka untuk turun dengan membawa nama Islam, meskipun Ahok sendiri sudah
meminta maaf. Aksi bela Islam ini
merupakan yang ketiga, sebelumnya terjadi pada tanggal 14 Oktober 2016 dan 4
Nopember 2016.
Mengambil
pelajaran dari kasus Ahok ini, penulis teringat dengan sosok guru bangsa,
Almarhum Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus Dur
dikenal sebagai sosok yang gigih membela kaum minoritas. Pada tahun 2003,
ketika beberapa ulama’ dan seniman mengecam Inul Daratista karena goyang
ngebornya, Gus Dur justru dengan terang-terangan membela Inul. Bagi Gus Dur, tidak boleh seseorang itu melarang kebebasan berekspresi orang lain, karena hal itu diatur dalam UUD 1945. Gus Dur seringkali mengatakan bahwa dasarkanlah tindakan kita pada hukum yang berlaku di negara ini.
Selain
membela Inul, Gus Dur juga gigih membela kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah yang
merupakan kelompok minoritas di negeri ini. Kedua kelompok ini kerap mendapat
gangguan dari kelompok lain, tidak jarang gangguan itu berupa kekerasan fisik,
pembakaran masjid, hingga pengusiran. Ketika pemerintah terkesan kurang
tanggap terhadap kasus ini, Gus Dur
dengan tegas berdiri membela kedua kelompok ini. Dalam kasus Ahmadiyah, bahkan
Gus Dur pernah mengatakan “selama saya masih hidup, saya akan pertahankan
Ahmadiyah. Ngerti gak ngerti terserah!”
Pembelaan
yang paling fenomenal terjadi pada tahun 1990, ketika Gus Dur membela Arswendo
yang dianggap telah menistakan agama. Sebuah tabloid yang dipimpinnya
mengumumkan hasil jajak pendapat tentang tokoh yang paling dikagumi oleh
pembaca. Hasilnya Presiden Soeharto menempatan urutan pertama, sedang Nabi
Muhammad berada di urutan ke-11. Nama Arswendo sendiri muncul di posisi ke-10. Hasil
jajak pendapat itu membuat umat Islam di Indonesia marah, kantor tabloid yang
berada di Jakarta itu didemo dan dirusak. Arswendo harus lari tunggang langgang
untuk menghindari amukan masa. Atas peristiwa itu, Arswendo dihukum empat tahun
penjara.
Sebagai
pembela kelompok minoritas, tentu ada beberapa pihak yang tidak suka dengan
sikap Gus Dur. Disinilah Gus Dur menjadi obyek cacian dan makian, bahkan tidak
sedikit yang menggolongkan kafir dan sesat. Bahkan seorang Habib Rizieq, dalam
sebuah wawancara di stasiun televisi swasta mengatakan Gus Dur itu buta mata
dan hati. Hal seperti ini pernah penulis jumpai ketika menghadiri sebuah
diskusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, ketika itu ada salah seorang
pemateri berulangkali menghina Gus Dur dan Cak Nur yang dianggap sebagai tokoh
liberal.
Begitulah
Gus Dur sebagai pembela kelompok minoritas. Cerita di atas hanyalah sebagaian
kecil pembelaan-pembelaan yang pernah dilakukan oleh Gus Dur. Pembelaan yang
melewati batas-batas agama dan etnis. Atas nama kemanusiaan, tidak boleh satu kelompok
menindas kelompok yang lain. Namun, apa yang dilakukan oleh Gus Dur itu kerap
tidak dapat difahami oleh banyak orang.
Komentar