Kartini dan Jejak Nasionalismenya
Kartini, seakan selalu lahir kembali setiap tanggal 21
April. Merupa kebaya di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di jalanan, ataupun
di jagad medsos.
Begitulah sejarah orde baru me-reimajinasi Kartini.
Perempuan dengan paras ayu, berkebaya, masak, dan ditonton dalam karnaval.
Sejarah itu seakan ingin melupakan bahwa Kartini, memiliki
peran yang besar dalam merekam sejarah pergerakan di Indonesia.
Dalam Kartini Sebuah Biografi (1979), Sitisoemandari
Soeroto mengungkapkan: “Kartini menduduki tempat khusus dalam Sejarah
Indonesia Modern sebagai Ibu Nasionalisme.”
Nasionalisme Kartini, dalam panggung sejarah, banyak
disangsikan oleh para pemikir, salah satunya adalah Harsja W. Bahtiar.
Dalam buku satu abad Kartini (1879-1979), terbitan Pustaka
Sinar Harapan (cetakan ke-4), Harsja menulis sebuah artikel berjudul Kartini
dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita.
Harsja membandingkan sosok Kartini dengan dua sosok wanita
yang lain. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat
dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Menurut Harsja, dua sosok wanita tersebut lebih hebat dari
Kartini, baik dalam pendidikan maupun perjuangan melawan kolonial.
"Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi
wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak menciptakan sendiri
lambang budaya ini, meskipun kemudian kita lah yang mengembangkan lebih
lanjut," kata Harsja.
Harsja mencoba meruntuhkan mitos tentang Kartini dengan
menghadirkan tokoh-tokoh lain. Ia menulis "Dan, bilamana ternyata bahwa
dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R A
Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada
dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada R A Kartini".
Jejak Nasionalisme Kartini
Sikap nasionalisme Kartini terlihat dalam surat-surat yang
ia tulis. Salah satunya suratnya kepada Nellie Van Kol pada tahun 1901.
“Usaha kami mempunyai dua tujuan, yaitu turut berusaha
memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudara-saudara perempuan kami
menuju keadaan yang lebih baik, yang lebih sepadan dengan martabat manusia,”
tulis Kartini yang terekam dalam Emansipasi: Surat-Surat Kepada Bangsanya,
1899-1904 (2017).
Dalam suratnya, dalam banyak hal, ia menggunakan kata
"kami" untuk menunjuk sebuah identitas, juga sesekali ia menggunakan
kata "bangsa", di mana konsep Indonesia belum ada.
Di situlah, Kartini dalam surat-suratnya berbicara tentang
sebuah komunitas yang tidak sekedar diperbincangkan tetapi juga diperjuangkan.
Dikutip dari Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang
Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008), jejak nasionalisme Kartini
terekam dalam rapat-rapat Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), yang
kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada 24 Desember 1911, Pemimpin PI, Notosoeroto, mengadakan
rapat khusus membicarakan konsep nasionalisme Kartini. Nosoeroto menyampaikan
pidato berjudul “Buah Pikiran Raden Ajeng Kartini sebagai Pedoman Perhimpunan
Hindia.
“Bukan nasionalisme yang sempit, bukan peniruan unsur asing
dengan sikap memandang rendah diri sendiri, melainkan membangun terus di atas
dasar sendiri yang baik, menuju cita-cita manusia yang lazim, ” kata
Notosoeroto.
Di Indonesia, gagasan-gagasan Kartini dihidupkan oleh Tjipto
Mangoenkoesoemo dengan Raden Ajeng Kartini Club. Ide tentang perlawanan
terhadap Tradisionalisme Jawa menginspirasi Tjipto menggunakan nama Kartini
sebagai kelompok diskusinya. Kelompok ini lahir pada 3 September 1912. Selain
Tjipto, tokoh lain Kartini Club adalah Soetomo.
Meski tidak berumur panjang, ide-ide dalam Kartini Club
dihidupkan Tjipto dalam organisasi yang lain. Bersama dengan Douwes Dekker, ia
mencampurkan ideologi sosialis Indische Partij dengan judul kumpulan surat
Kartini.
Kemudian pada tahun 1925, Tjipto kembali mendirikan kelompok
diskusi dengan nama Algemene Studie Club. Bersama dengan Sukarno, Abdoel Moeis,
Ishaq Tjokrohadisoerjo, dan Anwari.
Di lingkaran kelompok diskusi ini, Tjipto menjadikan
tema-tema nasionalisme yang sebelumnya didiskusikan di Kartini Club sebagai
tesis gerakan perlawanan terhadap kolonialisme.
Kehadiran Kartini sebagai sebuah pemikiran atau ideologi
yang mendorong sebuah perkumpulan bergerak melawan kolonialisme tentu bukan
sesuatu yang kebetulan. Sehingga tidak salah, pada Mei 1964 Presiden Sukarno
menetapkannya sebagai pahlawan dan 21 April sebagai hari Kartini. (21/04/2020)
Komentar