Postingan

Karena Covid-19, Kita Puasa Lebih Awal

Ternyata, kita telah berpuasa sebelum Ramadan tiba. Hidup serba minimalis telah kita lalui semenjak Covid-19 tiba. Gaya hidup konsumtif berkurang karena semua aktifitas dipindah ke rumah. Kebiasan nongkrong di kedai kopi, nonton film di bioskop, berbelanja aneka kebutuhan di mall, hingga berwisata harus kita hentikan sejenak. Bahkan, tidak hanya syahwat duniawi yang dibatasi, melainkan syahwat beribadah juga dibatasi. Maka, tidak mengherankan kalau Ramadan tahun ini datang tidak seperti biasanya. Ia datang saat kita harus menjaga jarak dari teman dan kerabat. Tak ada sambutan yang meriah. Pawai, kembang api, bahkan tarawih berjamaah di masjid tak lagi kita temukan. Covid-19 memaksa kita untuk hidup serba minimalis. Begitu juga sebenarnya pesan utama dari datangnya Bulan Ramadan. Ramadan mengharuskan kita untuk hidup menahan nafsu. Nafsu makan dan minum, nafsu berbelanja, nafsu berhubungan seksual, nafsu membincang orang lain, dan nafsu-nafsu yang lain. Ramad

Kartini dan Jejak Nasionalismenya

Kartini, seakan selalu lahir kembali setiap tanggal 21 April. Merupa kebaya di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di jalanan, ataupun di jagad medsos. Begitulah sejarah orde baru me-reimajinasi Kartini. Perempuan dengan paras ayu, berkebaya, masak, dan ditonton dalam karnaval.  Sejarah itu seakan ingin melupakan bahwa Kartini, memiliki peran yang besar dalam merekam sejarah pergerakan di Indonesia. Dalam Kartini Sebuah Biografi (1979), Sitisoemandari Soeroto mengungkapkan: “Kartini menduduki tempat khusus dalam Sejarah Indonesia Modern sebagai Ibu Nasionalisme.” Nasionalisme Kartini, dalam panggung sejarah, banyak disangsikan oleh para pemikir, salah satunya adalah Harsja W. Bahtiar. Dalam buku satu abad Kartini (1879-1979), terbitan Pustaka Sinar Harapan (cetakan ke-4), Harsja menulis sebuah artikel berjudul Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Harsja membandingkan sosok Kartini dengan dua sosok wanita yang lain. Pertama, Sultanah Seri Ratu Taj

Gus Dur; Sang Pembela Minoritas

Ratusan ribu orang (ada yang menyebut jutaan) berkumpul di Tugu Monas pada Jum’at, 2 Desember 2016. Menamakan dirinya dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau GNPF MUI. Di bawah komando Habieb Rizieq, mereka menuntuk Ahok segera diadili dalam kasus penistaan agama. Dalam situasi seperti ini, Ahok seperti menjadi musuh bersama, meskipun tetap saja ada yang berpihak kepadanya dengan reaksi yang berbeda. Mereka yang berkumpul itu meyakini ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada 30 september 2016 tentang Al Maidah ayat 51 termasuk menistakan agama, sehingga perlu bagi mereka untuk turun dengan membawa nama Islam, meskipun Ahok sendiri sudah meminta maaf.  Aksi bela Islam ini merupakan yang ketiga, sebelumnya terjadi pada tanggal 14 Oktober 2016 dan 4 Nopember 2016. Mengambil pelajaran dari kasus Ahok ini, penulis teringat dengan sosok guru bangsa, Almarhum Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus Dur dikenal sebagai sosok yang gigih membela

Maut Lebih Kejam Daripada Cinta

Cerpen Gabriel Garcia Marquez (diterbitkan oleh Jawa Pos 20 April 2014) SENATOR Onésimo Sánchez hanya punya sisa waktu enam bulan sebelas hari sebelum dijemput maut kala dia menemukan perempuan idamannya. Dia berjumpa dengan gadis itu di Rosal del Virrey, sebuah kota kecil yang seperti khayalan. Pada malam hari kota itu menjadi dermaga tersembunyi bagi kapal-kapal penyelundup dan siang harinya tampak seperti tempat terpencil paling tak berguna di tengah padang pasir yang gersang dan seaan berada di antah-berantah, menghadap laut, begitu jauh dari segala takdir siapa pun yang tinggal di tempat itu. Bahkan nama kota itu –yang berarti rumpun mawar—seolah lelucon belaka. Sebab, satu-satunya mawar yang ada di sana dipakai oleh senator Onésimo Sánchez pada suatu senja ketika dia berjumpa dengan Laura Farina. Saat itu adalah perhentian tak terhindarkan dalam kampanye pemilu yang telah dia jalani selama empat tahun. Iring-iringan mobil-mobil pengangkut barang tiba pada pagi hari. Lalu d

Refleksi Kemerdekaan

Betapapun buruknya kondisi negeri ini, ketahuilah bahwa dulu bangsa ini pernah besar. Betapapun carut marutnya negeri ini, ketahuilah bahwa negeri ini dibangun dengan cita-cita yang mulia. Betapapun banyaknya hutang yang dimiliki negara ini, ketahuilah bahwa negara ini tersusun dari Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang ratusan juta banyaknya dan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, di darat dan di laut. Negeri ini hanya salah diurus saja. Entah siapa yang memulai, membangun negeri ini dengan pesimisme. Tidak percaya dengan kemampuan sendiri hingga menjual harga diri ke luar negeri. Kita tentu ingat, kenapa Bung Karno mendiamkan puluhan kilang minyak yang tersebar di negeri ini, bukan karena kita tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan, tetapi kita belum bisa mengelolanya, sehingga kita perlu mengirim anak-anak terbaik bangsa belajar ke luar negeri untuk selanjutnya biar mereka yang mengurusnya. Tetapi sebuah rezim yang rakus ternyata berbeda pendapat dengan Bung Ka

Jogja Yang Santai Akan Selalu Dirindukan

Tengah malam aku memutuskan untuk pulang ke Bojonegoro. Diantar Rusdi menunggu bus di bawah Jembatan Layang Janti. Selalu bus Sugeng Rahayu yang aku tunggu, meskipun pada akhirnya bus Miralah yang aku tumpangi hingga Kota Ngawi. Yogyakarta tampak indah di tengah malam, jalanan sepi dengan berhiaskan lampu-lampu yang cukup untuk menggantikan purnama sebagai cahaya di malam hari. Aku tidak sempat melihat jam yang ada di handphone ketika bus Mira tiba di depanku, sejenak aku berpamitan dengan Rusdi sebelum aku masuk ke dalam bus. Seperti biasanya ketika aku pulang kampung di malam hari, bus selalu sepi dari penumpang. Aku mengambil kursi dekat dengan jendela agar bisa menikmati pemandangan jalan di malam hari. “ OTW Bojonegoro; Jogja akan selalu dirindukan.” Aku kirimkan kata-kata itu kepada seorang gadis sebagai kabar yang mungkin tidak ia inginkan.

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro

Cangaan, sebuah desa yang terletak di pinggiran Bengawan Solo, mungkin masih asing di telinga sebagian orang di Kabupaten Bojonegoro. Desa yang terletak di Kecamatan Kanor ini termasuk desa yang menjadi langganan banjir ketika musim hujan tiba. Bagi warga kecamatan kanor dan sekitarnya, Cangaan selain terkenal sebagai desa langganan banjir juga terkenal karena kondisi jalan yang jelek, becek berlumpur ketika musim hujan tiba, dan berdebu ketika musim kemarau. Namun tampaknya identitas Canga’an sebagai desa langganan banjir dan desa dengan struktur jalan yang jelek telah ditinggalkan seiring dengan laju pembangunan di Bojonegoro. Di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo kini telah dibangun tanggul yang cukup tinggi – kira-kira lima meter – dan cukup untuk menahan arus sungai tidak meluber ke rumah warga. Jalan-jalan desa pun sudah mulai baik hasil dari program pavingisasi Bupati Suyoto. Lalu apa lagi yang terkenal dari desa ini?