Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2015
Menyikapi Waktu dan Uang Kereta yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Malam ini aku akan melanjutkan perjalanan menuju Jakarta setelah transit sejenak di stasiun Duri. Pintu kereta terbuka dan langsung saja para penumpang berhamburan keluar, berlari, entah apa yang mereka kejar. Sedangkan aku dengan santai berjalan memasuki gerbong kereta yang tidak begitu penuh penumpangnya. Segera aku mencari tempat duduk yang masih kosong dan sekira nyaman. Tentang orang-orang yang berlari-lari setelah turun dari kereta sontak saja membuat aku bertanya-tanya, dan pertanyaanku masih sama “apa yang mereka kejar?” waktu. Itulah jawaban yang aku dapatkan setelah mengamati para penumpang kereta. Ya, mungkin mereka mengejar waktu. Tetapi bagaimana mungkin mereka bisa mengejar waktu, sedangkan waktu juga terus berjalan? Waktu, bagi mereka, adalah uang. Perjalanan waktu berarti perjalanan untuk mencari uang. Kegiatan yang memakan banyak waktu tetapi tidak menghasilkan uang adalah kegiatan yang tidak p
Hidup adalah Kata-Kata Beberapa tahun yang lalu kita disuguhi iklan politik salah satu politisi muda yang mengatakan bahwa hidup adalah perbuatan. Sebelumnya kita telah akrab dengan slogan hidup adalah perjuangan. Tetapi sekarang ini mungkin kita sepakat (entah sadar atau tidak) bahwa hidup adalah kata-kata. Dahulu sebelum ditemukan media jejaring sosial, mungkin istilah perkenalan hanya difahami sebatas pada pengetahuan akan identitas dan pertemuan. Tetapi sekarang mungkin istilah perkenalan itu menjadi sangat luas sehingga akhirnya istilah perkenalan itu pun menjadi kabur. Dahulu kala kalau kita tidak pernah bertemu seseorang dan tidak pernah bertegur sapa kita akan dianggap tidak kenal, namun sekarang di media jejaring sosial, kita akan mudah mengenal orang walaupun kita tidak pernah bertemu dengan orang itu dan tidak tahu dari mana asal mereka. Dengan media jejaring sosial sekarang ini kita bisa lebih dekat mengenal orang-orang yang di zaman dulu dianggap “untouchable” , a
Cerita tentang Burung-Burung yang Terlambat Pulang  “Seperti halnya manusia, ternyata burung-burung itu juga menghindari hujan. Kau lihat mereka pulang terlalu sore dari pada biasanya. Hujan telah menunda kepulangan mereka, juga kita yang terpaksa berteduh selama hampir dua jam. Bukankah harusnya kita berbahagia karena akan bertemu dengan keluarga kita di rumah? seperti burung-burung itu yang pasti sangat berbahagia bisa kembali ke sarang. Tidak kah kau dengar suara kebahagian dari kicauan mereka?” Kataku untuk menghibur seorang kawan yang pasti akan diomeli istrinya karena pulang terlambat. Istrinya memang suka marah-marah, apalagi kalau ia pulang terlambat. Istrinya akan mengira ia terlambat karena bermain cinta dengan perempuan lain. “Burung-burung itu hanya terbang dengan sekawanan mereka. Coba kau lihat, apakah ada jenis yang berbeda diantara mereka? juga binatang-binatang yang lain. Apakah manusia akan seperti itu juga? Lihatlah kopi yang kita nikmati ini. di sini telah be
Laras dan keluh kesahnya “Aku suka dengan suasana hujan. Hujan memberiku kesejukan dan kedamaian. Dan untuk kita, hujan memberikan kehangatan.” Kata Rama sambil menyulut rokoknya dengan tubuh yang penuh dengan keringat. “Aku tidak suka hujan. Ia telah menggagalkan jadwalku untuk bertemu dengannya.” “Ah…kau ini Laras, masih saja suka menyalahkan hujan. Tidak berbeda dengan Laras yang dulu aku kenal. Kurang lebih sudah empat tahun kita berpisah, dan sekarang kau masih saja menyalahkan hujan.” “Memang kenyataannya seperti itu Rama. Hujan telah menggagalkan pertemuanku dengannya. Seharusnya sekarang aku bisa mendapatkan uang 600 ribu, tetapi itu gagal gara-gara hujan. Padahal si Tua itu sudah menagih uang kontrakan, sedangkan si Minah di kampung tadi malam nelpon kalau Raja sedang sakit. Dan minggu depan sudah waktunya Ega masuk sekolah, belum juga ada uang untuk membeli peralatan sekolah.”
Menulislah! Maka Kau akan Abadi [1] “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, hal. 352) Kita mungkin saja tidak akan mengenal Pramoedya Ananta Toer kalau ia tidak menulis banyak buku. Karya-karya Pram yang cukup banyak telah mengantarkannya “abadi”. Walaupun karya-karyanya pernah dilarang beredar oleh pemerintah rezim Orde baru, Pram tetap produktif menulis, bahkan ketika ia diasingkan di pulau Buru. Di pulau itu, Pram berhasil menyelesaikan maha karya tetralogi Buru yang terdiri dari Bumi Manusia , Anak Semua Bangsa , Jejak Langkah , dan Rumah Kaca . Maha karya itu sampai sekarang masih laris terjual. Bagi aktivis pergerakan, buku tetralogi buru dianggap sebagai buku wajib. Pram abadi karena ia menulis. Selain Pramoedya Ananta Toer, tentu masih banyak penulis lain yang “abadi” karena tulisannya. Sosok Soe Hok Gie adalah con