Cerita
tentang Burung-Burung yang Terlambat Pulang
“Seperti halnya manusia, ternyata
burung-burung itu juga menghindari hujan. Kau lihat mereka pulang terlalu sore
dari pada biasanya. Hujan telah menunda kepulangan mereka, juga kita yang
terpaksa berteduh selama hampir dua jam. Bukankah harusnya kita berbahagia
karena akan bertemu dengan keluarga kita di rumah? seperti burung-burung itu
yang pasti sangat berbahagia bisa kembali ke sarang. Tidak kah kau dengar suara
kebahagian dari kicauan mereka?” Kataku untuk menghibur seorang kawan yang
pasti akan diomeli istrinya karena pulang terlambat. Istrinya memang suka
marah-marah, apalagi kalau ia pulang terlambat. Istrinya akan mengira ia
terlambat karena bermain cinta dengan perempuan lain.
“Burung-burung
itu hanya terbang dengan sekawanan mereka. Coba kau lihat, apakah ada jenis
yang berbeda diantara mereka? juga binatang-binatang yang lain. Apakah manusia
akan seperti itu juga? Lihatlah kopi yang kita nikmati ini. di sini telah
bercampur beberapa hal yang berbeda, ada kopi, ada gula, dan ada air. mereka
bisa bersatu untuk memunculkan sebuah rasa yang enak. Terkadang aku
membayangkan bagaimana manusia-manusia itu bisa seperti apa yang ada dalam
gelas ini.” Kata-katanya menyiratkan tidak ada kekhawatiran dalam dirinya soal
istri yang suka marah-marah. Atau mungkin ia sedang menyembunyikannya? Itu
tidak penting, karena kata-kata yang ia ucapkan cukup menarik untuk ditanggapi
dengan serius.
“Aku kadang juga berfikir seperti itu. tetapi
bukankah perbedaan itu adalah rahmat?”
“Perbedaan
itu rahmat ketika dalam perbedaan itu ada toleransi. Ada sikap saling
menghargai. Sekarang kau lihat ada begitu banyak kelompok yang dengan buas
menghabisi kelompok yang lain hanya karena adanya perbedaan.”
“Kau
benar. Aku tidak tahu apakah mereka memang sudah mendapat restu dari yang maha
kudus untuk melakukan penyerangan itu? sekarang tidak hanya atas nama Tuhan
orang-orang itu berani bertindak keji, tetapi juga atas nama demokrasi. Kau
pasti sudah mendengar kabar tentang pengeroyokan yang dilakukan oleh pendukung
Partai Nanas terhadap Amar.”
“Iya.
Aku yakin proses hukum yang dilakukan oleh Amar juga akan sia-sia.”
Beberapa
detik setelah itu hujan kembali mengguyur kota. Kedai kopi yang terletak di
sudut kota yang kami gunakan untuk berteduh tidak lepas dari guyuran hujan.
“Hujan
tidak akan menghalangiku untuk pulang ke rumah. Istriku pasti akan bertambah
marah karena pulang sangat terlambat.”
Ia
segera mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja dan bergegas menuju
parkiran sepeda motor. Hujan memang tidak menghalangi niatnya untuk pulang dan
bertemu dengan istrinya. Sedangkan aku masih ingin di kedai ini, mengabiskan
sedikit kopi yang masih tersisa di gelas ini. Karena di rumah, istriku sedang
akan kedatangan tamu yang ia tunggu-tunggu.
Komentar