Menyikapi Waktu dan Uang
Kereta yang aku tunggu akhirnya tiba juga. Malam ini aku akan melanjutkan perjalanan menuju Jakarta setelah transit sejenak di stasiun Duri. Pintu kereta terbuka dan langsung saja para penumpang berhamburan keluar, berlari, entah apa yang mereka kejar. Sedangkan aku dengan santai berjalan memasuki gerbong kereta yang tidak begitu penuh penumpangnya. Segera aku mencari tempat duduk yang masih kosong dan sekira nyaman.
Tentang orang-orang yang berlari-lari setelah turun dari kereta sontak saja membuat aku bertanya-tanya, dan pertanyaanku masih sama “apa yang mereka kejar?” waktu. Itulah jawaban yang aku dapatkan setelah mengamati para penumpang kereta. Ya, mungkin mereka mengejar waktu. Tetapi bagaimana mungkin mereka bisa mengejar waktu, sedangkan waktu juga terus berjalan?
Waktu, bagi mereka, adalah uang. Perjalanan waktu berarti perjalanan untuk mencari uang. Kegiatan yang memakan banyak waktu tetapi tidak menghasilkan uang adalah kegiatan yang tidak produktif, misalnya ngopi atau ngobrol dengan teman atau tetangga. Ukuran dari produktifitas adalah seberapa banyak manusia itu menghasilkan uang dan pekerjaan apapun itu ketika tidak menghasilkan uang akan dianggap tidak bernilai. Hal ini kemudian menjadikan problem bagi manusia modern, terutama kaitannya dengan tafsir kebahagiaan.

Sebagaian manusia modern meyakini bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan melimpahnya uang. Dengan uang, mereka menganggap bahwa semuanya bisa dibeli. Jabatan, jodoh, perhiasan, dan benda-benda materi lainnya. Memang uang bisa membeli semua itu, tetapi apakah kemudian hal itu akan secara otomatis akan sampai kepada kebahagiaan?  
Di zaman modern ini, kita banyak melihat bagaimana manusia tersandera oleh sistem kerja yang mereka buat sendiri. Manusia bergegas ke sana ke mari, lupa pada keluarga dan pada lingkungan, yang kemudian menjadikan manusia kehilangan kesadaran tentang kemanusiaannya. Mereka menjadi terasing, kesepian, dan mudah stres. Apakah ini yang namanya kebahagiaan? di sini bisa kita bandingkan tingkat survival manusia sekarang dengan manusia zaman dulu, atau manusia yang hidup di perkotaan dengan manusia yang hidup di perdesaan.
Manusia tidak dilarang untuk bekerja, malah bekerja adalah sebuah keharusan. Manusia juga tidak dilarang untuk mempunyai uang yang banyak, asalkan dengan cara yang dibenarkan. Yang tidak boleh adalah menjadikan uang sebagai tujuan. Uang bukanlah tujuan, tetapi uang hanyalah sarana manusia untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta.
Esensi manusia tidak terletak kepada pergerakan fisiknya, tetapi pada ruh, pada kesadaran – kesadaran bahwa manusia adalah ciptaan Allah SWT. Untuk sampai pada tingkat yang esensi itu dibutuhkan pemaknaan yang dalam tentang kehidupan ini. proses memaknai tidak berjalan dengan baik ketika fisik kita terus berlari, terus bekerja, untuk itulah kita butuh istirahat. Seperti sepenggal syair dari grup band Padi dalam sang penghibur “bukankah hidup ada penghentian, tak harus kencang terus berlari, ku hela nafas panjang, tuk siap berlari kembali.” Wallahu a’lam

November 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro