Menulislah!
Maka Kau akan Abadi[1]
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca,
hal. 352)
Kita
mungkin saja tidak akan mengenal Pramoedya Ananta Toer kalau ia tidak menulis
banyak buku. Karya-karya Pram yang cukup banyak telah mengantarkannya “abadi”.
Walaupun karya-karyanya pernah dilarang beredar oleh pemerintah rezim Orde baru,
Pram tetap produktif menulis, bahkan ketika ia diasingkan di pulau Buru. Di
pulau itu, Pram berhasil menyelesaikan maha karya tetralogi Buru yang terdiri
dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca. Maha karya itu sampai sekarang masih laris terjual. Bagi aktivis
pergerakan, buku tetralogi buru dianggap sebagai buku wajib. Pram abadi karena
ia menulis.
Selain
Pramoedya Ananta Toer, tentu masih banyak penulis lain yang “abadi” karena
tulisannya. Sosok Soe Hok Gie adalah contoh lain. Dia memang tidak seproduktif
Pram, tetapi catatan harian yang ia tulis ketika masih hidup telah membawa nama
dia “abadi” sampai sekarang.
Pram
memang benar, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Tetapi sayangnya hal ini
belum benar-benar bisa dipahami oleh para aktivis gerakan sosial. Banyak
diantara mereka yang masih beranggapan bawa berteriak di jalanan adalah senjata
utama untuk melawan ketidakadilan, sedangkan tulisan adalah senjata nomor
sekian, padahal kita tahu bahwa yang terucap akan mudah terbang dan hilang
bersama angin. Salah satu kelemahan dari gerakan sosial sekarang adalah
sedikitnya ide yang ditulis oleh para aktivis, padahal ide-ide yang ditulis akan
menjadi abadi karena dibaca oleh orang banyak.
Menulis itu Penting
Tidak
ada tips khusus dalam dunia kepenulisan sebagaimana kekayaan ataupun
kesuksesan. Kalaupun toh ada, mungkin itu adalah ketekunan. Ya, menulis butuh
ketekunan. Semua penulis yang melahirkan karya besar lahir karena ketekunan.
Pram misalnya, sudah menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Soe Hok Gie
dalam catatan hariannya juga sudah menulis sejak duduk di bangku SD.
Selain
ketekunan, menulis juga butuh asupan gizi. Kalau tubuh kita butuh makan dan
minum, maka menulis butuh sumber bacaan. Bacaan adalah makanan bagi para
penulis. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Ali Syariati buku adalah
seperti makanan tetapi makanan untuk jiwa dan pikiran.[2]
Logika sederhana hubungan antara membaca dan menulis adalah semakin banyak
membaca, semakin banyak kosakata yang terekam dalam kepala, dan semakin mudah
kosakata itu dikeluarkan dalam bentuk tulisan.
Selain
dua hal di atas, ada satu hal penting yang harus ada dalam diri seorang
penulis, yaitu menganggap menulis itu penting. Tidak mungkin seseorang bisa
tekun menulis ketika ia mengaggap menulis itu tidak penting. Ia akan menganggap
menulis hanyalah pekerjaan yang sia-sia dan membuang-buang waktu. Oleh karena
itu perlu ada perubaan paradigma tentang menulis, yaitu merubah paradigma dari
menulis itu tidak penting menjadi menulis itu penting.
Bagi
sebagian orang, mengabiskan waktu dengan bermain game adalah pekerjaan yang
sia-sia, tetapi bagi yang menganggap bermain game itu penting maka bermain game
bukan pekerjaan yang sia-sia. Hal yang sama juga berlaku bagi orang-orang yang
rela mengabiskan uang jutaan rupiah untuk berlibur ke luar negeri. Hal itu
dilakukan karena mereka menganggap bawa berlibur ke luar negeri itu suatu hal
yang penting. ketika sesuatu itu dianggap penting, maka seseorang akan rela
mengorbankan sesuatu yang lain yang dianggap tidak penting.
Oleh
karena itu marilah kita menganggap bahwa menulis itu penting.
Komentar