Laras
dan keluh kesahnya
“Aku
suka dengan suasana hujan. Hujan memberiku kesejukan dan kedamaian. Dan untuk
kita, hujan memberikan kehangatan.” Kata Rama sambil menyulut rokoknya dengan
tubuh yang penuh dengan keringat.
“Aku
tidak suka hujan. Ia telah menggagalkan jadwalku untuk bertemu dengannya.”
“Ah…kau
ini Laras, masih saja suka menyalahkan hujan. Tidak berbeda dengan Laras yang
dulu aku kenal. Kurang lebih sudah empat tahun kita berpisah, dan sekarang kau
masih saja menyalahkan hujan.”
“Memang
kenyataannya seperti itu Rama. Hujan telah menggagalkan pertemuanku dengannya.
Seharusnya sekarang aku bisa mendapatkan uang 600 ribu, tetapi itu gagal
gara-gara hujan. Padahal si Tua itu sudah menagih uang kontrakan, sedangkan si
Minah di kampung tadi malam nelpon kalau Raja sedang sakit. Dan minggu depan
sudah waktunya Ega masuk sekolah, belum juga ada uang untuk membeli peralatan
sekolah.”
“Ya
enggak harus menyalahkan hujan dong Laras. Hujan itu hanya mengikuti perintah
Sang Pencipta. Kalau Tuhan sudah berkata jadilah maka jadilah. Kira-kira
seperti itulah ajaran orang tuaku dulu sewaktu aku masih rajin mengaji.”
“hmmm…masih
sempat kau bawa ajaran agama di atas kasur ini Rama.”
“Laras,
coba kau dengar suara gemercik air di luar. Itu adalah nyanyian bahagia para
perindu yang telah menemukan kekasihnya setelah terpisah sangat jauh. Satu
butiran hujan yang menetes ke tanah serupa dengan pertemuan sepasang kekasih
yang telah terpisah jaunya jarak dan lamanya waktu. serupa dengan pertemuan
Adam dan Hawa, dan juga kita Laras.
“Aku
benci hujan.” Laras menaikkan selimut dan memunggungi Rama yang masih dengan
kepulan asap rokok.
“Padahal
suasana hujan adalah suasana paling romantis, baru setelah itu suasana senja.
Bukankah begitu Laras?”
Tidak
ada jawaban dari Laras. Ia telah tertidur. Mungkin ia kecapekan karena
mendengar bualan Rama. Mungkin juga ia kecapekan setelah berhubungan badan
dengan Rama. Tetapi yang jelas ia kini sedang bermimpi, entah mimpi apa, hanya
ia yang tahu.
Komentar