Siapapun yang pernah pergi ke Jombang kalau dari arah Bojonegoro dengan naik bus, pasti akan transit terlebih dahulu di Babat, Kabupaten Lamongan, untuk pindah bus jurusan Jombang. Dalam waktu sekitar 4 bulan terakhir ini, aku sering bolak-balik Bojonegoro-Jombang. Perjalanan biasanya aku mulai dari Bojonegoro dengan naik bus jurusan Surabaya dan turun di pasar Babat. Di Babat, aku lanjutkan dengan naik bus Puspa Indah. Bus yang menjadi primadona bagi siapa saja yang ingin ke jombang kalau dari arah Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro. Memang bukan bus satu-satunya yang tersedia, tetapi diantara bus-bus yang lain, armada bus ini yang paling banyak. Fasilitas bus terbilang pas-pasan, malahan kalau hujan, terkadang anda akan mendapati atap bus yang bocor. Tetapi bukan masalah bus Puspa Indah yang menjadi perhatianku selama menempuh perjalanan bojonegoro-Jombang atau sebaliknya, tetapi pemandangan yang ada di sekitar jalan-jalan sepanjang Babat-Jombang. Kalau dulu, ketika aku masih duduk...
Awalnya hanyalah Majelis Penyelamat Organisasi. Dibentuk oleh beberapa kader untuk menyelamatkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari kooptasi Orde Baru. Jalan diplomasi mereka tempuh, mempertanyakan sikap Pengurus Besar (PB) HMI yang mengubah asas Islam menjadi Pancasila, namun apa daya, aksi mereka tidak ditanggapi positif oleh PB HMI. PB HMI lebih mengakomodir tekanan pemerintah orde baru dari pada sikap beberapa cabang yang menolak asas tunggal Pancasila. Perpecahan pun tak dapat dielakkan, HMI pun menjadi dua. Perpecahan itu terjadi pada tahun 1985. Kongres HMI ke-16 pada tahun 1986 diadakan di dua tempat, yaitu Padang sebagai tempat kongres HMI dengan asas Pancasila dan Yogyakarta sebagai tempat HMI dengan asas Islam. Di dua kongres itulah perpecahan HMI mengkristal. HMI resmi menjadi dua, HMI dengan asas Pancasila yang kemudian terkenal dengan HMI Dipo – merujuk kepada alamat sekretariat PB HMI di Jalan Diponegoro Jakarta, dan HMI dengan asas Islam yang diisi oleh cabang-caban...
Cangaan, sebuah desa yang terletak di pinggiran Bengawan Solo, mungkin masih asing di telinga sebagian orang di Kabupaten Bojonegoro. Desa yang terletak di Kecamatan Kanor ini termasuk desa yang menjadi langganan banjir ketika musim hujan tiba. Bagi warga kecamatan kanor dan sekitarnya, Cangaan selain terkenal sebagai desa langganan banjir juga terkenal karena kondisi jalan yang jelek, becek berlumpur ketika musim hujan tiba, dan berdebu ketika musim kemarau. Namun tampaknya identitas Canga’an sebagai desa langganan banjir dan desa dengan struktur jalan yang jelek telah ditinggalkan seiring dengan laju pembangunan di Bojonegoro. Di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo kini telah dibangun tanggul yang cukup tinggi – kira-kira lima meter – dan cukup untuk menahan arus sungai tidak meluber ke rumah warga. Jalan-jalan desa pun sudah mulai baik hasil dari program pavingisasi Bupati Suyoto. Lalu apa lagi yang terkenal dari desa ini?
Komentar