MEMBACA DAN KERJA PERADABAN
Buku
adalah jendela peradaban. Ia tidak sekedar kumpulan tulisan, tetapi juga
rekaman ilmu pengetahuan. Dari buku, kita tahu pemikiran tokoh-tokoh terdahulu
yang bisa kita pelajari dan kembangkan, kemudian muncullah teori-teori baru
dalam ilmu pengetahuan. Buku adalah kekuatan. Keberadaannya bisa mengancam
penguasa yang tiran. Oleh karena itu keberadaannya menjadi terlarang. Seperti
buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar oleh rezim Orde Baru.
Tetapi
buku tidak menjadi apa-apa ketika ia dibiarkan berbaris manis di rak tanpa
dibaca. Ia hanya akan menjadi hiasan ruangan. Maka untuk menjadi jendela
peradaban, ia harus dibaca. Namun, membaca belum menjadi budaya di negeri ini.
Menurut survey yang dilakukan oleh salah satu perguruan tinggi dari Amerika
Serikat, Indonesia berada di peringkat ke 60, masih kalah dengan Thailand yang
berada di peringkat 59.
Rendahnya
minat baca masyarakat bisa saya lihat di kampus dulu saya kuliah. Sangat jarang
saya menemukan mahasiswa membaca buku ketika sedang menunggu dosen, atau ketika
ngopi di kanting. Pojok-pojok kampus lebih banyak diisi oleh kumpulan mahasiswa
yang sedang bercanda tawa. Walaupun dibilang mahasiswa, ternyata tidak otomatis
suka membaca. Begitu juga dengan aktivis, ternyata tidak otomatis suka membaca.
Melihat
fenomena tersebut, sudah saatnya kita mengisi pojok-pojok kampus, pojok-pojok
warung kopi, dan pojok-pojok ruang publik yang lain, dengan membaca. Lebih baik
kalau kegiatan itu dirutinkan, sehingga dengan sendirinya pojok-pojok ruang itu
menjadi pojok membaca atau reading corner. Itu adalah salah satu usaha
untuk mentransformasikan energi positif membaca kepada masyarakat yang lain.
Alangkah
indahnya kalau dimana-mana orang-orang pada membaca buku untuk mengisi waktu
luangnya. Ini jauh lebih baik dari pada mengisi waktu luang dengan bermain
gadget dan ujung-ujungnya berkeluh-kesah di sosial media. Membaca adalah kerja
peradaban, begitu juga menulis dan berdiskusi. Selamat membaca.
Komentar