KETIKA AKU MERINDUKAN SUGENG RAHAYU
(SEBUAH CATATAN PERJALANAN DARI SEMARANG KE WONOSOBO)

Rasa lelah belum sempat hilang, walaupun sudah semalaman aku beristirahat di Sekretariat HMI Cabang Semarang. Namun pagi itu juga, 11 April 2016, aku harus melanjutkan perjalanan ke Wonosobo. Kota yang diapit oleh dua gunung, Sindoro dan Sumbing. Aku sering menyebutnya dengan kota masa depan. Alasanku menyebut kota masa depan adalah, kota ini masih asri, sejuk, nyaman, dan jauh dari kemacetan.
Aku berangkat bersama tiga temanku, satu orang dari Purworejo dan dua orang dari Jombang. kami berangkat sekitar pukul 09.00 WIB dari Sekretariat HMI Cabang Semarang, yang terletak tidak jauh dari RS. Karyadi. Kami berencana naik bus ke Wonosobo, namun bus tidak bisa langsung kami dapatkan di dekat Sekretariat, kami harus terlebih dahulu naik bus Trans Semarang sampai Banyumanik. Disitulah kami akan menunggu bus yang akan membawa kami ke Wonosobo.
Siang itu Semarang cukup cerah, kontras dengan cuaca pada malam hari yang hujan lebat. Setelah kurang lebih setengah jam menunggu di halte, bus Trans Semarang akhirnya datang juga. Kami harus berdiri, karena kursi bus sangat terbatas. sebagai transportasi umum, seharusnya tidak hanya mengedepankan kemudahan akses jalan, tetapi juga kenyamanan, termasuk soal jumlah kursi. Transportasi publik yang nyaman dan aman pada saatnya akan lebih diminati oleh penduduk sehingga berpotensi besar bisa mengurang beban kemacetan.
Kami turun di Banyumanik dan tidak berapa lama kami menunggu, bus Maju Makmur yang akan membawa kami ke Wonosobo tiba. Bus Maju Makmur membawa kami dengan pelan. Berbeda sekali dengan bus Sugeng Rahayu yang kerap aku tumpangi ketika pulang ke Jawa Timur dari Yogyakarta. Selain pelan, tarif bus juga tergolong mahal. Dari Semarang ke Wonosobo aku harus merogoh kocek 35 ribu, coba bandingkan dengan tarif bus Sugeng Rahayu dari Yogyakarta ke Ngawi yang hanya 26 ribu dengan jarak yang hampir sama.
Sampai di Terminal Bawen, bus berhenti sangat lama. Aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh sopir dan kondektur bus di terminal, sehingg bus bisa berhenti sangat lama. Memang penumpang tidak terlalu banyak, tetapi menurutku waktu selama itu terlalu berlebihan. Apalagi kami berempat belum ada yang mandi, juga sarapan.
*****
Berbicara tentang bus, aku menempatkan bus Sugeng Rahayu dan konco-konconya sebagai favorit. Bus ini memang sering diberitakan media sebagai bus yang ugal-ugalan dan kerap kecelakaan. Soal ugal-ugalan, mana ada bus yang tidak ugal-ugalan? Kalau anda berangkat dari Bojonegoro ke Surabaya naik bus, entah apa itu busnya, pasti akan mendapati kesan bus yang ugal-ugalan juga. Bagi saya bus ugal-ugalan itu biasa. Kalau bus sampai kecelakaan, mungkin itu sudah nasib. Hehe….
Alasanku menempatkan Sugeng Rahayu sebagai bus favorit karena bus ini bisa dengan cepat mengantarkanku sampai ke Yogyakarta atau Ngawi. Pelayanan bus juga ramah. Aku tidak pernah menjumpai kondektur yang nakal, misalnya menaikkan harga semaunya. Sehingga anda tidak perlu kuatir apabila tidak ada uang pas, kondektur akan mengembalikan uang dengan jumlah yang semestinya. Ini berbeda dengan beberapa bus yang aku tumpangi dari Bojonegoro ke Ngawi. Tarif semestinya adalah 23 ribu. Aku pernah membayar dengan uang 50 ribu, oleh kondektur bus hanya dikembalikan 26 ribu, atau bahkan pernah 25 ribu. Dalam berbisnis, kejujuran adalah modal yang utama.
*****
Setelah dari Terminal Bawen, bus Maju Makmur berjalan melewati Ambarawa. Pemandangan yang indah bisa kami saksikan di sepanjang Jalan Lingkar Ambarawa. Pemandangan sawah dan bukit menghias sepanjang jalan. Kalau anda naik kendaraan pribadi, berlama-lamalah di sana, berfoto-foto, tapi ingat, jalan ini milik umum.
Setiap melintasi Jalang Lingkar Ambarawa, yang terbesit dalam kepalaku adalah pertanyaan tentang keberadaan penjara tempat tahanan politik zaman Orde Baru. Aku ingin berkunjung ke sana, mengenang sejarah pembantaian manusia masa Orde Baru. Ada yang mengatakan jumlah korban hanya ribuan, tetapi ada juga yang mengatakan jumlah korban mencapai jutaan. Entah versi mana yang benar, tetapi menurutku jumlah tidak penting, berapapun itu, kejahatan tetaplah kejahatan dan pelakunya harus dihukum. Tetapi, di negeri yang pelupa ini, penjahat bisa dengan mudah mengelabui penegak hukum. Hingga sekarang aku belum menemukan di mana lokasi penjara itu.
Bus melaju dengan kecepatan sedang. Jalan Lingkar Ambarawa telah kami lewati. Kini, kami melewati jalan yang agak berliku dan menanjak. Entah di daerah mana, bus masuk ke pom bensin. Bukan untuk mengisi solar tetapi menunggu bus lain yang akan mengoper penumpang. Kondektur bus mengatakan tidak lama, hanya 15 menit. Tetapi penumpang banyak yang kecewa, mereka pada menggerutu, mengeluh kepada fasilitas dan layanan bus yang mereka anggap mengecewakan.
15 menit sudah berlalu, namun bus yang kami tunggu tidak kunjung tiba. Aku lihat kondektur bus sedang sibuk mengamati jalan ke arah bus yang ditunggu-tunggu, sambil sesekali menelpon. Kami, penumpang, telah dibuat gusar oleh sopir dan kondektur bus. Memang menunggu adalah aktivitas yang tidak menyenangkan di satu sisi, di sisi yang lain menunggu merupakan latihan untuk menguji kesabaran.
Hampir setengah jam kami menunggu, bus yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Tidak banyak penumpang yang dioper ke bus yang kami tumpangi, sehingga kehadiran penumpang baru tidak sampai membuat bus penuh sesak. Mungkin karena alasan sepi itulah bus terpaksa mengoper penumpang. Memang bagi sopir dan kondektur bus, sepinya penumpang adalah sebuah bencana.
Setelah ngetem lama di pom bensin, barulah bus bergerak lebih cepat. Hujan turun sejak bus memasuki Kabupaten Temanggung dan terus mengguyur hingga kami tiba di Wonosobo. Kami tiba pukul 14.00 WIB. Itu berarti perjalanan kami membutuhkan waktu lima jam, aku membayangkan seandainya perjalanan kami menggunakan bus Sugeng Rahayu mungkin hanya memakan waktu tiga sampai empat jam.
*****
Wonosobo, kota yang terletak di atas gunung, begitulah kata Anam, teman asal Jombang, ketika ngangkot dari pasar ke kampus Universitas Sains Al Qur’an (UNSIQ), sebuah kampus yang mencoba memadukan antara Al Qur’an dengan Sains. Kata beberapa mahasiswa kampus ini yang aku kenal, menghafal Al Qur’an menjadi syarat mahasiswa untuk lulus, namun aku tidak tahu apakah harus menghafal 30 juz atau hanya beberapa juz. Karena letaknya di atas gunung itulah, hawa dingin tidak bisa dipisahkan dari kota ini. Dulu aku pernah berpendapat di depan salah satu teman bahwa hidup di Wonosobo akan membuat diriku produktif menulis, namun buru-buru dia bantah “satu sampai dua hari mungkin, tetapi hari-hari berikutnya kau akan merasa di kota ini, waktu lebih enak dihabiskan untuk tidur.”
Perjalananku ke Wonosobo pada hari itu dalam rangka meramaikan pameran buku yang diadakan oleh HMI Cabang Wonosobo. Ini adalah kegiatan kali kelima yang diadakan oleh HMI Cabang Wonosobo, namun aku baru sekali ini bisa ikut meramaikan kegiatan yang diadakan di kampus UNSIQ. Kegiatan ini berlangsung selama 10 hari.
Wonosobo membaca. Tema yang diangkat panitia ini terlihat sederhana namun mengena. Membaca, belum menjadi budaya, tidak hanya di Wonosobo, tetapi juga di penjuru negeri ini. Padahal membaca adalah pintu awal terciptanya sebuah peradaban. Itulah kenapa wahyu pertama dalam ajaran Islam berbunyi Iqra’, yang artinya bacalah. Iqra’ seharusnya menjadi semangat umat Islam untuk maju membangun peradaban, bukan dengan semangat peperangan atau kekerasan yang sekarang sering dilakukan oleh beberapa kelompok Islam. Di kota yang sejuk ini, semuanya berjalan dengan damai. Katanya sih Front Pembela Islam (FPI) belum ada di sini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro