ANTARA BOJONEGORO DAN SEMARANG

Melakukan perjalanan dengan kereta api sebenarnya bukanlah hal asing bagiku, tetapi lain ceritanya kalau kereta itu berangkat dari Bojonegoro menuju Semarang. Ini adalah pengalaman pertamaku. Sabtu itu, 8 April 2016, aku melakukan perjalanan dalam rangka Musyawarah Daerah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi (Badko) Jawa bagian Tengah dan Timur. Bukan di Semarang sebenarnya lokasi musyawarahnya, melainkan di Kendal.
Aku naik kereta Maharani, berangkat dari stasiun Bojonegoro pada pukul 07.40 WIB. Sebagai salah satu transportasi umum, maka otomatis kereta yang aku tumpangi terdiri dari banyak orang. Aku duduk bersama dengan seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Di depanku ada seorang nenek bersama dengan cucunya dan seorang lelaki dewasa yang berasal dari Surabaya. diantara kami berlima, hanya aku dan laki-laki dari Surabaya yang begitu cair komunikasinya. Kami membicarakan banyak hal. Denga laki-laki disampingku, kami hanya diam. Sedangkan dengan nenek dan cucunya, kami hanya sebatas bertanya dari mana dan mau kemana.
Diam. Inilah yang sering aku resahkan ketika naik bus atau kereta. Orang-orang lebih asyik dengan dunia masing-masing. Asyik dengan handphone dan gadget masing-masing. Mereka seperti duduk sendirian. Keberadaan orang lain seakan tidak ada artinya selain hanya membuat sesak tempat duduk.
Aku menikmati obrolan dengan laki-laki asal Surabaya yang duduk depanku. Seperti biasa kita memulai dari pertanyaan yang lebih tepatnya adalah pertanyaan basa-basi. Dari mana dan mau kemana. Tetapi kami tidak berhenti disitu. Kami saling bercerita tentang banyak hal hingga aku tahu laki-laki asal Surabaya itu gemar berziarah dan punya agenda pengajian di kota-kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kepergiannya ke Semarang sebenarnya hanyalah sebagai tempat istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Jepara.
Kereta berhenti di stasiun Blora setelah sebelumnya berhenti di stasiun Cepu, beberapa penumpang turun, dan beberapa orang yang lain naik ke gerbong kereta. Seorang perempuan mendekati tempat duduk kami, dan memohon izin untuk duduk. Setelah meletakkan tas, ia membuka gadget dan sepintas aku lihat ia sedang bercermin. Cukup lama ia bercermin dengan sekali-kali menggerak-gerakkan kepala, ke kanan dan ke kiri, membuat aku dan beberapa penumpang lain merasa kurang nyaman. Semenjak kedatangan perempuan itu, aku dan laki-laki asal Surabaya itu lebih banyak diam, hanya sekali-kali saja kami berbicara.
*****
Kira-kira 2 minggu sebelum keberangkatanku ke Semarang, aku didatangi oleh salah satu pengurus HMI Cabang Yogyakarta yang intinya menanyakan masa depanku di HMI. Ia memberiku 2 pilihan, menjadi ketua Badko atau menjadi pengurus Pengurus Besar (PB). Aku hanya menjawab “aku siap di mana aku dibutuhkan.”
Aku mulai resah dengan bergesernya cara pandang kader-kader HMI tentang perkaderan. Banyak kader-kader yang cenderung berorientasi pada jabatan, ketua umum misalnya, sehingga ketika forum-forum konferensi atau kongres, sidang yang paling ditunggu-tunggu adalah sidang pemilihan formatur. Aku sering melihat calon-calon mempunyai mesin politik, yang sejak awal forum sudah bergerak untuk mencari dukungan. Yang memprihatinkan dari strategi politik itu adalah tawaran untuk menduduki jabatan-jabatan strategis tertentu atau lebih tepatnya adalah bagi-bagi kue. Kadang aku berfikir apa bedanya HMI dengan partai politik.
Seorang kader yang mempunyai niat untuk mencalonkan diri menjadi ketua tentu bukan sesuatu yang dilarang di HMI. Siapa yang bisa melarang niat? Dalam hukumpun, niat tidak masuk dalam hitungan perbuatan, kecuali niat baik yang akan mendapat pahala. Namun yang perlu diingat adalah posisi ketua atau jabatan di HMI bukanlah tujuan, sehingga kader-kader yang mempunyai niat untuk menjadi ketua ya harus siap menerima hasil, baik menang ataupun kalah. Jangan hanya siap menang saja, tetapi juga siap kalah.
Ada pengalaman menarik ketika aku terpilih menjadi formatur HMI Cabang Yogyakarta. Salah satu calon yang sudah mempersiapkan tim sebelum konferensi memutuskan untuk walk out (WO) setelah mengetahui bahwa suara mereka tidak mampu menembus komisariat-komisariat lain yang berbeda kampus dengan mereka. Padahal pemilihan belum dilakukan, sedangkan mereka sudah melakukan perhitungan, apa ini bukan politis? Aku sendiri hanya mendapat dukungan dari komisariat-komisariat di kampusku, yang suaranya tidak seberapa besar.
Sebagai bentuk pengabdian, maka aku putuskan untuk berangkat ke Semarang, melaporkan kegiatan-kegiatan Badko selama kurang lebih 11 bulan. Soal masa depanku di HMI? Aku tidak pernah berfikir tentang itu. Sebagai seorang kader, aku harus siap di manapun organisasi ini menempatkanku.
*****
Kereta Maharani yang aku tumpangi terus melaju. Obrolan demi obrolan kami lakukan sembari menikmati pemandangan di luar kereta. Berbeda kalau naik bus, kita akan mudah tahu di kota mana kita berada, kalau naik kereta mungkin kita hanya akan tahu ketika sampai di stasiun, karena yang kita jumpai kebanyakan adalah areal persawahan. Kalau anda ingin tahu sedikit dari luas sawah di negeri ini, anda bisa melihatnya melalui jendela kereta api.
Namun sayang, luasnya areal persawahan yang aku lihat dari balik jendela kereta tidak mampu melepaskan negeri ini dari jerat kemiskinan. Bahkan katanya soal pangan saja, negeri ini belum berdaulat. Apakah memang negeri ini terlalu banyak penduduknya, sehingga kekayaan alam ini tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari? aku teringat dengan kata-kata Mahatma Gandhi “sumber daya alam yang ada di bumi akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia di atasnya, akan tetapi takkan cukup untuk memenuhi kebutuhan satu manusia yang serakah.”
Pukul 10.30 WIB, kereta sampai di Stasiun Tawang. Cukup besar stasiunnya, jauh lebih besar dari stasiun Bojonegoro, atau stasiun Lempuyangan. Di depan stasiun ini aku menunggu jemputan dari pengurus HMI Cabang Semarang. Sembari menunggu, aku ingin melampiaskan hasrat minum kopi yang tertahan sejak di kereta. Namun aku tidak menjumpai warung kopi di depan stasiun dan aku baru ingat bahwa ini di Semarang, bukan di Jawa Timur.  Padahal di depan stasiun ada sebuah kolam besar yang cukup asyik untuk dijadikan tempat nongkrong. Coba ada warung kopi di situ, pasti ramai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro