DARI BABAT KE JOMBANG
Siapapun
yang pernah pergi ke Jombang kalau dari arah Bojonegoro dengan naik bus, pasti
akan transit terlebih dahulu di Babat, Kabupaten Lamongan, untuk pindah bus
jurusan Jombang. Dalam waktu sekitar 4 bulan terakhir ini, aku sering
bolak-balik Bojonegoro-Jombang. Perjalanan biasanya aku mulai dari Bojonegoro
dengan naik bus jurusan Surabaya dan turun di pasar Babat. Di Babat, aku
lanjutkan dengan naik bus Puspa Indah. Bus yang menjadi primadona bagi siapa
saja yang ingin ke jombang kalau dari arah Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro.
Memang bukan bus satu-satunya yang tersedia, tetapi diantara bus-bus yang lain,
armada bus ini yang paling banyak. Fasilitas bus terbilang pas-pasan, malahan
kalau hujan, terkadang anda akan mendapati atap bus yang bocor.
Tetapi
bukan masalah bus Puspa Indah yang menjadi perhatianku selama menempuh
perjalanan bojonegoro-Jombang atau sebaliknya, tetapi pemandangan yang ada di
sekitar jalan-jalan sepanjang Babat-Jombang. Kalau dulu, ketika aku masih duduk
di bangku sekolah dasar, aku mendapati di sepanjang pinggir jalan tumbuh hutan
yang lebat. Tetapi kini, hutan-hutan itu sudah banyak yang gundul, sudah
berganti dengan sawah dan pemukiman warga.
Ibuku
asli Jombang. dulu, Hampir setiap lebaran aku berkunjung ke Jombang. aku paling
suka ketika perjalananku melewati hutan-hutan di pinggir jalan. aku
membayangkan di dalam hutan-hutan itu banyak tentara yang sedang latihan
perang. Bayanganku itu muncul karena pengaruh dari film G30SPKI. Di film itu
ada adegan di mana PKI melatih anggotanya taktik berperang. Dulu aku meyakini
betul film itu nyata dan tanpa rekayasa. Namun kini aku sadar, banyak hal yang
bisa ditempuh oleh penguasa untuk melanggengkan sejarah kekuasaannya.
Namun,
sebelum memasuki hutan-hutan itu, setelah Kota Babat, anda akan melewati jalan
yang diapit oleh dua bukit. Orang-orang biasa menyebutnya dengan Gunung Pegat.
Pegat adalah kata dalam Bahasa Jawa yang artinya cerai atau pisah. Ada mitos
yang berkembang di penduduk sekitar kalau ada pengantin yang melewati jalan
itu, maka ia harus menyembelih ayam agar pernikahannya bisa langgeng. Kini, Gunung
Pegat tinggal cerita berikut mitosnya. Karena tidak akan lagi kita jumpai
keberadaannya. Akibat penambangan yang terjadi, Gunung Pegat kini lebih
terlihat seperti jurang.
Dulu
ketika aku masih sering ke jombang, penambangan memang sudah terjadi. Ketika
itu bukit sebelah timur yang ditambang, namun keberadaan bukit yang menjulang
masih bisa kita saksikan, berbeda dengan sekarang yang kondisinya sudah seperti
jurang, baik bukit yang sebelah timur maupun yang sebelah barat.
Fenomena
lain yang membuatku tertarik adalah banyaknya pabrik-pabrik yang berdiri di
pinggir jalan. pabrik-pabrik itu berdiri di tengah areal persawahan. Pernah
pada suatu kesempatan, ketika pulang dari Jombang, aku ngobrol dengan salah
satu penumpang yang berasal dari Lamongan. Ia mengatakan kalau penduduk sengaja
menjual sawah-sawah mereka karena tidak produktif. Sawah-sawah itu adalah sawah
tadah hujan, hanya musim hujan saja bisa digarap. makanya jangan kaget ketika
melintasi jalur Babat-Jombang pada sore hari, bus Puspa Indah yang anda
tumpangi akan penuh dengan buruh pabrik.
Dengan
berdirinya pabrik-pabrik, di satu sisi memang menguntungkan daerah dan penduduk
sekitar. Daerah mendapatkan dana hasil dari pajak, sedangkan penduduk
mendapatkan pekerjaan dengan menjadi buruh pabrik. Namun di satu sisi yang lain,
aku melihat ada semacam pembodohan yang dilakukan oleh pabrik-pabrik terhadap
penduduk dan pemerintah daerah. Pelaku usaha tentu senang membangun pabrik di
daerah Lamongan, kenapa? Karena Upah Minimum Kabupaten Lamongan tergolong
rendah, hanya sekitar 1,5 juta per bulan. Dengan upah yang rendah itu,
pabrik-pabrik tentu tidak banyak mengeluarkan uang untuk menggaji buruh,
sehingga untung yang didapat dari pabrik itu bisa lebih banyak.
Selain
masalah gaji, hal lain yang perlu diperhatikan adalah masa depan buruh,
meskipun sekarang mereka mendapatkan pekerjaan, tetapi sebenarnya bayang-bayang
pemecatan atau PHK selalu menghantui. Lalu kemana mereka setelah itu? sedangkan
areal persawahan tidak mereka miliki lagi. Disitulah kira-kira kita harus
memberikan apresiasi kepada orang-orang (adat) yang menolak lahan mereka
diambil oleh para pengembang. Misalnya orang-orang Samin yang mendiami daerah Pegunungan
Kendeng Utara.
Industrialisasi
juga akan berdampak terhadap budaya yang berkembang di masyarakat. Menarik untuk
merenungi tulisan dari Zahidin, Direktur Radar Bojonegoro, di edisi 26/2/2016.
Di salah satu bagian tulisan itu yang ia ambil dari pernyataan Buapati
Bojonegoro, Suyoto, ia menggambarkan bagaimana wanita-wanita desa yang mulai
meninggalkan tradisi petanan (mencari kutu di rambut). Dengan bahasa
yang lain, akibat industrialisasi, intensitas penduduk untuk berkomunikasi dan
bersosialisasi menjadi berkurang. Apalagi ketika di pabrik ada larangan
berbicara satu sama lain ketika bekerja.
*****
Perjalananku
dari Bojonegoro, kemudian oper bus dari Babat ke Jombang, telah menjadi saksi
bagaimana pesatnya perkembangan industrialisasi sebagai penyokong utama dari wacana
pembangunan. Industrialisasi lambat laun akan sampai juga di pelosok-pelosok
desa, sebagaimana internet yang mulai merambah ke desa. Apalagi hal ini di
dukung oleh pemerintah yang sangat gencar dalam melaksanakan misi pembangunan.
Pembangunan tidak akan tercapai kalau tidak di dukung oleh industri yang kuat.
Seperti
kita ketahui bersama, di era Presiden Jokowi sekarang ini, pembangunan
dilakukan dengan gencar, mulai dari jalan tol, waduk, bandara, dlsb. Pemerintah
beralasan bahwa pembangunan itu dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan dan
kemajuan, tetapi di sisi yang lain juga terdapat banyak tentangan. Pembangunan
kerap kali disertai dengan penggusuran, pengusiran, dan perampasan tanah di
awalnya, dan yang tak kalah penting adalah pembangunan sering mengabaikan
kelestarian lingkungan, lalu kemudian muncul pertanyaan “untuk siapakah semua
pembangunan itu?”
Komentar
Memang benar sekarang di sepanjang lintas Babat-Jombang sudah berdiri pabrik. Salah satunya yang baru adalah pabrik pengolahan tebu menjadi gula. Kita berharap jangan sampai industrialisasi mengancam ketahanan pangan khususnya kebutuhan pokok beras (imbas semakin menyusutnya jumlah sawah)
Kalo naik bis madiun ke lamongan yang cpt lwt mana..
Brp lama waktu tempuh dri jombang-babat- bjn kira2.
Mhon jwb an nya via wa/sms 081379049090