Islam Yes, Negara Islam Nanti Dulu



Isu tentang negara Islam selalu menarik untuk dibicarakan di negeri ini, sejak perdebatan antara kelompok Islamis dengan nasionalis dalam pembahasan piagam jakarta hingga kemunculan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Di media-media, pemberitaan tentang NIIS mengalahkan pemberitaan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang biasanya selalu ramai dengan demonstrasi dan politisasi.
Keberadaan NIIS sendiri telah banyak meresahkan negara-negara di dunia ini, tidak hanya negara-negara barat tetapi juga negara-negara di belahan bumi bagian Timur. Indonesia termasuk negara yang resah akan keberadaan NIIS. Hal ini diakibatkan oleh kebiadaban NIIS dalam mewujudkan cita-citanya, negara Islam, dengan membantai manusia dan memperkosa kaum perempuan.  Sudah ribuan nyawa melayang sia-sia, termasuk anak-anak yang tak berdosa dan tidak tahu apa-apa.
Tentu menjadi tanda tanya besar bagi kita ketika ada sebuah kelompok yang memproklamirkan Negara Islam, tetapi dalam prakteknya tidak mencerminkan Islam. Lalu bagaimana pandangan negara dalam Al Qur’an? Apakah harus berdiri sebuah negara Islam atau tidak?

Konsep Negara di dalam Al Qur’an
Dalam buku “Studi Kepemimpinan Islam; Konsep, Teori dan Praktinya dalam Sejarah,” Muzadi Zainuddin dan Mustaqim mengatakan tidak ada di dalam Al Qur’an yang spesifik menjelaskan tentang konsep negara. Konsep negara adalah wilayah ijtihad manusia. Sehingga apakah negara itu berbentuk khilafah, imamah, republik, atau demokrasi merupakan sebuah pilihan. Termasuk pilihan menegakkan negara Islam.
Walaupun demikian, beberapa kelompok yang menginginkan berdirinya negara Islam juga memakai landasan Al Qur’an. Dalam hal ini memang ada ayat-ayat yang menegaskan harus ditegakkannya hukum Tuhan, syari’ah, di bumi ini. jalan menegakkan hukum Tuhan kemudian difahami oleh kelompok-kelompok ini dengan mendirikan sebuah Negara Islam. Penegakan hukum Tuhan ini terdapat misalnya pada surat Al Maidah (5) : 48 "Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang telah diturunkan Allah. Dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."
Dalam politik Islam, hukum Tuhan dimaknai juga sebagai kedaulatan Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan sumber hukum tertinggi. Hukum yang dibuat oleh manusia dianggap tidak sah karena menggantikan kedaulatan Tuhan dengan otoritas manusia. Oleh karena itu bagi kelompok yang berpendapat seperti ini akan menganggap demokrasi sebagai sistem yang kafir, karena demokrasi merupakan sistem dimana kedaulatan tertinggi ada pada manusia.
Menanggapi kelompok ini, Khaled Abou El Fadl mengatakan bahwa dalam sebuah sistem politik, argumentasi-argumentasi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah pemegang otoritas tertinggi tidak dapat lagi dipertahankan. Argumentasi semacam itu mengandaikan bahwa manusia memiliki akses yang sempurna terhadap kehendak Tuhan, dan bahwa manusia dapat menjadi pelaksana yang sempurna dari kehendak Tuhan tanpa menyertakan sedikit pun keputusan dan kecenderungan mereka dalam proses tersebut. Bagi pemikir Islam kelahiran Kuwait ini, syari’ah, sebagian besar tidak secara eksplisit didiktekan oleh Tuhan, melainkan mengandalkan tindakan interpretatif manusia sebagai subjek-pelaku untuk memproduksi dan melaksanakannya. Dalam hal ini dia mencontohkan perdebatan ‘Ali dengan kelompok Khawarij pasca peristiwa tahkim. Ali yang dituduh oleh kelompok Khawarij telah kafir karena memakai hukum selain hukum Allah. Menanggapi hal itu, ‘Ali menyentuh mushaf kemudian menyuruh mushaf itu berbicara dan memberikan informasi tentang hukum Tuhan kepada orang-orang disekitarnya. Mereka kemudian bertanya kepada ‘Ali “apa yang kamu lakukan? Al Qur’an tidak bisa berbicara, dia bukan manusia.” Kemudian ‘Ali mengatakan bahwa itulah maksud dari apa yang telah dia lakukan. Al Qur’an tidak bisa berbicara, dia hanya sekumpulan tinta dan kertas, yang berbicara adalah pembacanya.
Dari penjelasan Khaled Abou El Fadl ini, penulis memahami bahwa apa yang digembor-gemborkan oleh beberapa kelompok tentang hukum Tuhan itu tidak murni hukum Tuhan, karena sudah bercampur dengan pemikiran orang-orangnya. Begitu juga dengan ide negara Islam adalah hasil interpretasi kelompok-kelompok tertentu terhadap ayat-ayat yang bernuansa politik.
Bagi penulis ide mendirikan negara Islam bukanlah hal yang utama, karena yang lebih utama adalah memperbaiki akhlak manusia. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari ini memberi tahu kita bahwa untuk membangun Islam itu seharusnya dari bawah, yaitu pembentukan akhlak masyarakat, bukan dengan membentuk sebuah negara. Bentuk negara boleh apa saja, asal di dalam masyarakatnya tumbuh nilai-nilai Islam yang tercermin dalam akhlak mereka. Sebuah anomali ketika ada kelompok yang menggembor-gemborkan negara Islam, tetapi akhlak mereka ternyata jauh dari apa yang telah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro