Urip Iku Urup


Pada suatu hari, ketika pulang dari kedai kopi mato, kira-kira pukul 03.30 dini hari, saya menjumpai beberapa orang yang sedang menyapu jalan di jalan Sultan Agung. Saya tidak tahu persis berapa orang jumlah mereka, tetapi yang jelas mereka tidak hanya laki-laki, ada juga diantara mereka adalah perempuan. Mereka memakai seragam kuning-kuning. Ya, mereka adalah pasukan kuning yang sedang bekerja.
Jauh sebelum saya menjumpai peristiwa di atas, saya pernah dikejutkan oleh sebuah peristiwa dimana ada seorang bapak menarik gerobak sampah di depan kampus UIN Sunan Kalijaga, dan di dalam gerobak itu saya melihat ada anak kecil yang sedang bermain pesawat yang terbuat dari kertas. Saya dapat pastikan bahwa pekerjaan sehari-hari bapak itu adalah memungut sampah yang ada di depan rumah-rumah warga dan kos-kosan mahasiswa.
Kedua peristiwa di atas seketika muncul dalam benak saya ketika kuliah, ada seorang dosen mengatakan bahwa sekarang ini banyak orang menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja, misalnya pada pangkat, paras, dan kekayaan, bukan pada manfaat yang dihasilkan, misalnya tukang sapu di jalan. kemudian dosen itu melanjutkan bahwa seringkali orang-orang itu meremahkan keberadaan tukang sapu jalan, padahal kota ini kelihatan bersih karena kemauan mereka menyapu jalanan kota ini.

Orang-orang yang Dilupakan
            Para tukang sapu jalan dan bapak pengangkut sampah di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak orang di dunia ini yang dilupakan keberadaannya. Banyak orang menilai pekerjaan seperti dua kelompok ini adalah pekerjaan yang tidak menarik, bergaji rendah, dan masa depannya tidak jelas. Pekerjaan mereka berat dan bergelut dengan hal-hal yang rendahan, seperti sampah. Sehingga sangat jarang ada orang yang mau mengambil pekerjaan ini.
Di sisi yang lain, sebenarnya peran yang dimainkan oleh dua kelompok di atas sangat berarti, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk yang lain. Atas jasa tukang sapu jalan, jalan-jalan yang kita lewati  menjadi bersih, begitu juga karena jasa pengangkut sampah, rumah-rumah warga menjadi bersih, terhindar dari bau busuk, dan mencegah datangnya penyakit. Harus berterimakasih kepada siapakah kita ketika sebuah kota mendapat penghargaan adipura? Tentu yang pertama bukan kepada Bupati atau Walikota, tetapi kepada tukang sapu jalan dan para pengangkut sampah.
            Kondisi yang berbeda terjadi kepada mereka yang dianggap kelompok elit, mereka yang berdasi, bersepatu, dan berangkat ke kantor naik mobil mewah. Mereka inilah kelompok yang diperhitungkan keberadaannya. Profesi yang mereka jalani pun menjadi hal yang dicita-citakan oleh sebagian besar masyarakat negeri ini. Hidup harus jadi orang kaya, punya isteri cantik/ suami tampan dan mobil mewah. Urusan memberi manfaat terhadap orang lain adalah nomor sekian.

Urip Iku Kudu Urup
Dalam filosofi jawa ada sebuah ungkapan urip iku urup, dalam terjemahan Bahasa Indonesia adalah hidup itu bernyala. Kalau kita ibaratkan hidup itu seperti obor atau lilin yang mengeluarkan cahaya dan menerangi kegelapan yang menyelimuti lingkungan sekitarnya. Semakin terang cahaya obor/ lilin itu, maka semakin terang juga lingkungan sekitarnya. Begitu juga dengan hidup ini harus memberi manfaat terhadap lingkungan sekitar. Filosofi ini kira-kira sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrany, Nabi pernah bersabda “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat terhadap orang lain.”
Dari penjelasan di atas, manusia yang baik bukanlah mereka yang banyak hartanya, tinggi pangkatnya, dan rupawan wajahnya, tetapi orang-orang yang mampu memberi manfaat terhadap lingkungan sekitarnya. Kalau sekarang konsep sukses diidentikkan dengan harta benda dan pangkat, maka janganlah jadi orang sukses, kecuali kalau konsep sukses sudah kita rubah tidak terbatas pada harta benda dan pangkat, tetapi juga pada peran kemanusian kita, memberi manfaat.

Apa yang dilakukan oleh para tukang sapu jalan dan bapak pengangkut sampah di atas tidak lebih dari memenuhi tugas kemanusiaan, berperan dan memberi manfaat untuk yang lain. Setidaknya mereka mengajarkan kepada kita bahwa untuk sekedar hidup itu mudah, kita tinggal menunggu takdir untuk lahir dan meninggal, tetapi untuk hidup yang “bernyala” itu ternyata butuh perjuangan. Hidup itu cuma sekali, maka hiduplah yang berarti. Sawetoro uripe, salawase urupe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BABAT KE JOMBANG

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro