Makna Isra’ Mi’raj dan Misi Profetik Ulama’ dalam Perubahan Sosial
Peristiwa
Isra’ Mi’raj adalah peristiwa yang bersejarah bagi umat Islam, dimana pada
peristiwa itu untuk pertama kalinya umat Islam diwajibkan menjalankan shalat 5
waktu dalam sehari. Pada peristiwa itu pula, Nabi Muhammad SAW mengalami
peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Ia diberi kesempatan untuk “jalan-jalan”
hingga ke langit ke tujuh dan bertemu dengan para nabi, melihat kenikmatan
surga dan orang-orang yang disiksa di neraka, dan bertemu langsung dengan Allah
SWT.
Peristiwa
religius yang dialami dalam Isra’ Mi’raj ini merupakan puncak pengalaman
spiritual Nabi Muhammad SAW yang menjadi dambaan para ahli mistik atau para
sufi. Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW tidak hanyut dalam kenikmatan puncak
spiritual, ia memutuskan untuk kembali ke dunia dalam rangka menunaikan
tugas-tugas kenabian. Ia harus melibatkan diri ke dalam sejarah perubahan
manusia. Inilah yang disebut oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya “Membangun
Kembali Pikiran Agama dalam Islam” sebagai etika profetik. Seandaianya saja
Nabi Muhammad SAW adalah seorang mistikus atau sufi, mungkin saja Ia tidak akan
kembali ke dunia, Ia akan “mabuk” karena pertemuannya dengan Allah SWT
(Kuntowijoyo : 2006).
Misi
Profetik
Nabi
Muhammad SAW memang harus kembali ke dunia karena Ia harus menyampaikan pesan
yang terkandung dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Ia harus menyampaiakan perintah
kewajiban menjalankan shalat 5 waktu, menyampaikan peristiwa pertemuannya
dengan nabi-nabi yang ia temui dari langit pertama hingga langit ke tujuh, dan
menyampaikan pertemuannya dengan Allah SWT. Selain itu, Ia harus melanjutkan
tugas kenabiannya, menyampaikan pesan
Islam sebagai jalan hidup dan keselamatan untuk seluruh alam.
Dalam
buku “Islam Sebagai Ilmu,” Kuntowijoyo menjelaskan misi kenabian (profetik) ada
tiga, yaitu liberasi, humanisasi, dan transendensi. Liberasi adalah
pemerdekaan atau pembebasan manusia dari penindasan. Humanisasi adalah
memanusiakan manusia, atau menempatkan manusia sebagaimana mestinya, bukan
menjadikan manusia sebagai mesin atau objek yang bisa diperlakukan semena-mena.
Transendensi adalah menambahkan dimensi transedental dalam setiap
aktivitas manusia (kesadaran ketuhanan).
Misi
profetik di atas pada dasarnya adalah upaya pembebasan, baik secara fisik
maupun non-fisik. Seperti kita ketahui bersama bahwa pasca perang dunia II,
penjajahan oleh suatu bangsa tidak lagi dilakukan secara fisik, tetapi
dilakukan lewat discourse (Mansour Fakih, 2011). Sasaran dari penjajahan
itu adalah pola pikir manusia yang nantinya akan berpengaruh terhadap perilaku,
sehingga manusia akan mengalami apa yang namanya dehumanisasi. Contoh
dari penjajahan itu adalah budaya konsumsi terhadap produk kecantikan, pemutih,
pelangsing, dan lain-lain.
Ulama Pewaris para Nabi
Oleh
karena penjajahan masih ada, maka misi profetik harus tetap dijalankan. Ulama’
mempunyai tanggung jawab yang lebih dari pada yang lain, karena ia adalah
pewaris para nabi. Sabda Rasulullah SAW “Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan
tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Tirmidzi dan Abu Darda’).
Ulama’ selama ini dikenal
sebagai orang yang ahli dalam bidang agama. Di sisi yang lain pemahaman
masyarakat tentang agama baru terbatas pada wilayah ritual individual, hal ini
kemudian berdampak pada peran ulama’ di ranah sosial kemasyarakatan yang hanya
dibutuhkan untuk membaca do’a dan berceramah ketika ada hajatan. Peran ulama’
kurang menyentuh pokok permasalahan di negeri ini, misalnya tentang kemiskinan,
penguasaan aset oleh bangsa asing, korupsi, dan lain-lain. Hal ini tentu sangat
berbeda dengan peran ulama’ pada zaman kolonial. Mereka menjadi garda terdepan
dalam perlawanan melawan kolonialisme Belanda dan Jepang, sebut saja sosok K.H
Hasyim Asy’arie, K.H Wahab Chasbullah, K.H Ahmad Dahlan, dan lain-lain.
Memang ada beberapa ulama’ yang
mempunyai semangat tinggi dalam aksi perubahan sosial, tetapi itu sangat
sedikit jumlahnya dan sosok mereka kalah menterang dengan ulama’ yang populer
lewat media televisi. Hal ini menjadi sebuah ironi di negeri yang mayoritas
penduduknya muslim (terbesar di dunia), tetapi permasalahan yang ada sangat
kompleks. Hal ini bisa jadi karena pengaruh ulama’ yang kurang menyentuh pada
pokok masalah di negeri ini.
Sebagai pewaris para nabi,
seharusnya tidak hanya peran dalam hal keagamaan yang dijalankan oleh para
ulama’, tetapi peran dalam perubahan sosial juga harus di jalankan. Misi
profetik yang dibawa oleh para nabi harus dilanjutkan oleh para ulama’ untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Komentar