Tradisi “Nyumbang” dalam Pernikahan
Pernikahan
adalah sebuah peristiwa yang sakral bagi setiap orang. Sehingga dalam acara
pernikahan biasanya tidak hanya soal ijab dan qabul tetapi ada tradisi-tradisi
yang mengikutinya, baik itu saat pernikahan berlangsung, sebelum pelaksanaan
ataupun sesudahnya. Dalam tradisi yang berkembang di jawa misalnya, kita mengenal
ada istilahnya siraman, midodareni,
sungkeman, dll. Tradisi-tradisi itu adalah sebagai upaya untuk menjaga
sakralitas dari sebuah pernikahan.
Dalam tradisi pernikahan yang
berkembang di desa saya dan mungkin juga berkembang di daerah-daerah lain, ada
sebuah tradisi yang bernama Nyumbang.
Secara kasar, Nyumbang diartikan sebagai sodaqoh. Sodaqoh adalah memberikan
sebagian harta kita kepada orang lain yang dipandang masih kekurangan dengan
didasari rasa ikhlas. Dalam pernikahan biasanya Nyumbang berbentuk uang yang
sudah dimasukin ke dalam amplop yang nantinya dimasukkan kedalam sebuah wadah
yang sudah disiapkan.
Nyumbang adalah bentuk solidaritas
yang ditunjukkan oleh kerabat kepada mereka yang mempunyai hajat. Ketika ada tetangga,
rekan atau kerabat yang sedang punya hajat, masyarakat sekitar secara suka rela
membantunya, sehingga warga yang hajatan tidak terlalu terbebani. Apalagi bagi
masyarakat Jawa yang kental akan tradisi. Hampir setiap tahapan kehidupan bisa
dipastikan ada ritual-ritual yang mesti dijalankan, sejak lahir, sunatan,
hamil, melahirkan, ritual kematian hingga pascakematian. Jika perayaan ritual
ini semua ditanggung sendirian, akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Nyumbang di Tengah Arus Kapitalisasi Zaman
Seiring
dengan perjalanan waktu, tradisi nyumbang mulai mengalami pergeseran, dari yang
awalnya bermotif gotong royong dan ikhlas, kini bergeser ke arah solidaritas
mekanis, yaitu solidaritas yang berdasarkan untung dan rugi. Sehingga
pelaksanaan tradisi ini tidak lagi berorientasi sakral tetapi sudah mengarah
kepada orientasi ekonomi. Semakin banyak undangan yang disebar, maka semakin
banyak pula potensi keuntungan yang didapatkan.
Selain orientasi ekonomi, ada kesan
juga tradisi nyumbang menimbulkan efek “balas dendam”. Misalnya jika dalam
sebuah hajatan ada kerabat yang tidak memberikan sumbangan atau memberikan
sumbangan tetapi kecil, maka orang yang dulunya mempunyai hajat akan membalas
denan memberikan sumbangan yang kecil pula. Selain “balas dendam,” Nyumbang
juga terkait dengan status sosial. Perihal jumlah sumbangan biasanya disesuikan
dengan faktor kedekatan hubungan maupun strata sosial orang yang akan
disumbang. Menyumbang orang kaya, misalnya, biasanya akan lebih besar jumlahnya
ketimbang orang miskin. Mereka akan malu bila menyumbang "orang
berada" dengan jumlah sedikit. Prinsip ini diakui atau tidak bertentangan
dengan pesan "nyumbang" dalam arti sebenarnya. Bukankah menyumbang
orang miskin mestinya lebih besar jumlahnya? Bukankah mereka lebih membutuhkan
bantuan ketimbang orang kaya?
Komentar