Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Gus Dur; Sang Pembela Minoritas

Ratusan ribu orang (ada yang menyebut jutaan) berkumpul di Tugu Monas pada Jum’at, 2 Desember 2016. Menamakan dirinya dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau GNPF MUI. Di bawah komando Habieb Rizieq, mereka menuntuk Ahok segera diadili dalam kasus penistaan agama. Dalam situasi seperti ini, Ahok seperti menjadi musuh bersama, meskipun tetap saja ada yang berpihak kepadanya dengan reaksi yang berbeda. Mereka yang berkumpul itu meyakini ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada 30 september 2016 tentang Al Maidah ayat 51 termasuk menistakan agama, sehingga perlu bagi mereka untuk turun dengan membawa nama Islam, meskipun Ahok sendiri sudah meminta maaf.  Aksi bela Islam ini merupakan yang ketiga, sebelumnya terjadi pada tanggal 14 Oktober 2016 dan 4 Nopember 2016. Mengambil pelajaran dari kasus Ahok ini, penulis teringat dengan sosok guru bangsa, Almarhum Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus Dur dikenal sebagai sosok yang gigih membela

Maut Lebih Kejam Daripada Cinta

Cerpen Gabriel Garcia Marquez (diterbitkan oleh Jawa Pos 20 April 2014) SENATOR Onésimo Sánchez hanya punya sisa waktu enam bulan sebelas hari sebelum dijemput maut kala dia menemukan perempuan idamannya. Dia berjumpa dengan gadis itu di Rosal del Virrey, sebuah kota kecil yang seperti khayalan. Pada malam hari kota itu menjadi dermaga tersembunyi bagi kapal-kapal penyelundup dan siang harinya tampak seperti tempat terpencil paling tak berguna di tengah padang pasir yang gersang dan seaan berada di antah-berantah, menghadap laut, begitu jauh dari segala takdir siapa pun yang tinggal di tempat itu. Bahkan nama kota itu –yang berarti rumpun mawar—seolah lelucon belaka. Sebab, satu-satunya mawar yang ada di sana dipakai oleh senator Onésimo Sánchez pada suatu senja ketika dia berjumpa dengan Laura Farina. Saat itu adalah perhentian tak terhindarkan dalam kampanye pemilu yang telah dia jalani selama empat tahun. Iring-iringan mobil-mobil pengangkut barang tiba pada pagi hari. Lalu d

Refleksi Kemerdekaan

Betapapun buruknya kondisi negeri ini, ketahuilah bahwa dulu bangsa ini pernah besar. Betapapun carut marutnya negeri ini, ketahuilah bahwa negeri ini dibangun dengan cita-cita yang mulia. Betapapun banyaknya hutang yang dimiliki negara ini, ketahuilah bahwa negara ini tersusun dari Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang ratusan juta banyaknya dan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, di darat dan di laut. Negeri ini hanya salah diurus saja. Entah siapa yang memulai, membangun negeri ini dengan pesimisme. Tidak percaya dengan kemampuan sendiri hingga menjual harga diri ke luar negeri. Kita tentu ingat, kenapa Bung Karno mendiamkan puluhan kilang minyak yang tersebar di negeri ini, bukan karena kita tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan, tetapi kita belum bisa mengelolanya, sehingga kita perlu mengirim anak-anak terbaik bangsa belajar ke luar negeri untuk selanjutnya biar mereka yang mengurusnya. Tetapi sebuah rezim yang rakus ternyata berbeda pendapat dengan Bung Ka

Jogja Yang Santai Akan Selalu Dirindukan

Tengah malam aku memutuskan untuk pulang ke Bojonegoro. Diantar Rusdi menunggu bus di bawah Jembatan Layang Janti. Selalu bus Sugeng Rahayu yang aku tunggu, meskipun pada akhirnya bus Miralah yang aku tumpangi hingga Kota Ngawi. Yogyakarta tampak indah di tengah malam, jalanan sepi dengan berhiaskan lampu-lampu yang cukup untuk menggantikan purnama sebagai cahaya di malam hari. Aku tidak sempat melihat jam yang ada di handphone ketika bus Mira tiba di depanku, sejenak aku berpamitan dengan Rusdi sebelum aku masuk ke dalam bus. Seperti biasanya ketika aku pulang kampung di malam hari, bus selalu sepi dari penumpang. Aku mengambil kursi dekat dengan jendela agar bisa menikmati pemandangan jalan di malam hari. “ OTW Bojonegoro; Jogja akan selalu dirindukan.” Aku kirimkan kata-kata itu kepada seorang gadis sebagai kabar yang mungkin tidak ia inginkan.

Masjid Jami’ Nurul Huda Cangaan; Masjid Tertua Di Bojonegoro

Cangaan, sebuah desa yang terletak di pinggiran Bengawan Solo, mungkin masih asing di telinga sebagian orang di Kabupaten Bojonegoro. Desa yang terletak di Kecamatan Kanor ini termasuk desa yang menjadi langganan banjir ketika musim hujan tiba. Bagi warga kecamatan kanor dan sekitarnya, Cangaan selain terkenal sebagai desa langganan banjir juga terkenal karena kondisi jalan yang jelek, becek berlumpur ketika musim hujan tiba, dan berdebu ketika musim kemarau. Namun tampaknya identitas Canga’an sebagai desa langganan banjir dan desa dengan struktur jalan yang jelek telah ditinggalkan seiring dengan laju pembangunan di Bojonegoro. Di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo kini telah dibangun tanggul yang cukup tinggi – kira-kira lima meter – dan cukup untuk menahan arus sungai tidak meluber ke rumah warga. Jalan-jalan desa pun sudah mulai baik hasil dari program pavingisasi Bupati Suyoto. Lalu apa lagi yang terkenal dari desa ini?

Ketika Facebook Menjadi Menyeramkan

Setelah ramai dengan berita tentang bangkitnya komunisme, memasuki Bulan Ramadhan, dunia media sosial, khusunya Facebook kembali ramai, bukan karena iklan jilbab syar’i, tetapi berita sweeping oleh Satpol PP di Serang, Banten, terhadap para pedagang yang nekat membuka warungnya di siang hari. Seperti biasa, ada yang membela Satpol PP dan ada juga yang tidak setuju dengan perilaku Satpol PP tersebut. Dalil-dalil agama kemudian dimunculkan untuk menjustifikasi kebenaran masing-masing kelompok. Kalau perdebatan antara pihak yang pro dan yang kontra dibawa ke ranah akademis mungkin akan lebih menarik daripada digulirkan di Facebook. Karena yang terjadi adalah orang-orang awam dengan mudah bisa mengonsumsi dan membenarkannya, kemudian ikut-ikutan membuat status atau memberi komentar, meskipun sebenarnya mereka tidak memahaminya secara utuh.

Haruskah HMI MPO dan HMI Dipo Islah?

Awalnya hanyalah Majelis Penyelamat Organisasi. Dibentuk oleh beberapa kader untuk menyelamatkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari kooptasi Orde Baru. Jalan diplomasi mereka tempuh, mempertanyakan sikap Pengurus Besar (PB) HMI yang mengubah asas Islam menjadi Pancasila, namun apa daya, aksi mereka tidak ditanggapi positif oleh PB HMI. PB HMI lebih mengakomodir tekanan pemerintah orde baru dari pada sikap beberapa cabang yang menolak asas tunggal Pancasila. Perpecahan pun tak dapat dielakkan, HMI pun menjadi dua. Perpecahan itu terjadi pada tahun 1985. Kongres HMI ke-16 pada tahun 1986 diadakan di dua tempat, yaitu Padang sebagai tempat kongres HMI dengan asas Pancasila dan Yogyakarta sebagai tempat HMI dengan asas Islam. Di dua kongres itulah perpecahan HMI mengkristal. HMI resmi menjadi dua, HMI dengan asas Pancasila yang kemudian terkenal dengan HMI Dipo – merujuk kepada alamat sekretariat PB HMI di Jalan Diponegoro Jakarta, dan HMI dengan asas Islam yang diisi oleh cabang-caban

Senja di Pantai Sepanjang

Gambar
Kalau sempat ada waktu Ku ajak kau menikmati senja Yang tertawan di langit Yogyakarta Indah memanjang di Pantai Sepanjang Sebelum purnama

MEMBACA DAN KERJA PERADABAN

Buku adalah jendela peradaban. Ia tidak sekedar kumpulan tulisan, tetapi juga rekaman ilmu pengetahuan. Dari buku, kita tahu pemikiran tokoh-tokoh terdahulu yang bisa kita pelajari dan kembangkan, kemudian muncullah teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan. Buku adalah kekuatan. Keberadaannya bisa mengancam penguasa yang tiran. Oleh karena itu keberadaannya menjadi terlarang. Seperti buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar oleh rezim Orde Baru.
KETIKA AKU MERINDUKAN SUGENG RAHAYU (SEBUAH CATATAN PERJALANAN DARI SEMARANG KE WONOSOBO) Rasa lelah belum sempat hilang, walaupun sudah semalaman aku beristirahat di Sekretariat HMI Cabang Semarang. Namun pagi itu juga, 11 April 2016, aku harus melanjutkan perjalanan ke Wonosobo. Kota yang diapit oleh dua gunung, Sindoro dan Sumbing. Aku sering menyebutnya dengan kota masa depan. Alasanku menyebut kota masa depan adalah, kota ini masih asri, sejuk, nyaman, dan jauh dari kemacetan. Aku berangkat bersama tiga temanku, satu orang dari Purworejo dan dua orang dari Jombang. kami berangkat sekitar pukul 09.00 WIB dari Sekretariat HMI Cabang Semarang, yang terletak tidak jauh dari RS. Karyadi. Kami berencana naik bus ke Wonosobo, namun bus tidak bisa langsung kami dapatkan di dekat Sekretariat, kami harus terlebih dahulu naik bus Trans Semarang sampai Banyumanik. Disitulah kami akan menunggu bus yang akan membawa kami ke Wonosobo. Siang itu Semarang cukup cerah, kontras dengan cua

ANTARA BOJONEGORO DAN SEMARANG

Melakukan perjalanan dengan kereta api sebenarnya bukanlah hal asing bagiku, tetapi lain ceritanya kalau kereta itu berangkat dari Bojonegoro menuju Semarang. Ini adalah pengalaman pertamaku. Sabtu itu, 8 April 2016, aku melakukan perjalanan dalam rangka Musyawarah Daerah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi (Badko) Jawa bagian Tengah dan Timur. Bukan di Semarang sebenarnya lokasi musyawarahnya, melainkan di Kendal. Aku naik kereta Maharani, berangkat dari stasiun Bojonegoro pada pukul 07.40 WIB. Sebagai salah satu transportasi umum, maka otomatis kereta yang aku tumpangi terdiri dari banyak orang. Aku duduk bersama dengan seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Di depanku ada seorang nenek bersama dengan cucunya dan seorang lelaki dewasa yang berasal dari Surabaya. diantara kami berlima, hanya aku dan laki-laki dari Surabaya yang begitu cair komunikasinya. Kami membicarakan banyak hal. Denga laki-laki disampingku, kami hanya diam. Sedangkan dengan nenek dan cucunya, kami
#3 Kenapa atas nama kemajuan, masyarakat adat selalu dikorbankan? Kenapa atas nama keindahan, penggusuran selalu dilakukan?

DARI BABAT KE JOMBANG

Siapapun yang pernah pergi ke Jombang kalau dari arah Bojonegoro dengan naik bus, pasti akan transit terlebih dahulu di Babat, Kabupaten Lamongan, untuk pindah bus jurusan Jombang. Dalam waktu sekitar 4 bulan terakhir ini, aku sering bolak-balik Bojonegoro-Jombang. Perjalanan biasanya aku mulai dari Bojonegoro dengan naik bus jurusan Surabaya dan turun di pasar Babat. Di Babat, aku lanjutkan dengan naik bus Puspa Indah. Bus yang menjadi primadona bagi siapa saja yang ingin ke jombang kalau dari arah Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro. Memang bukan bus satu-satunya yang tersedia, tetapi diantara bus-bus yang lain, armada bus ini yang paling banyak. Fasilitas bus terbilang pas-pasan, malahan kalau hujan, terkadang anda akan mendapati atap bus yang bocor. Tetapi bukan masalah bus Puspa Indah yang menjadi perhatianku selama menempuh perjalanan bojonegoro-Jombang atau sebaliknya, tetapi pemandangan yang ada di sekitar jalan-jalan sepanjang Babat-Jombang. Kalau dulu, ketika aku masih duduk
#2 Aku melihat pembangunan di mana-mana, tetapi aku juga melihat penggusuran di mana-mana. Lalu, untuk siapa kebahagian dan kesejahteraan itu?
Muhtar Quotes #1 Bagi saya, keberpihakan adalah sebuah keharusan. Kita harus memilih, mau ke kanan atau ke kiri, mau ke barat atau ke timur, ke selatan atau ke utara. Tidak ada posisi netral. Bagi saya posisi netral adalah sebuah kejahatan. Kira-kira seperti itulah seharusnya seorang Intelektual.

CERITA SEORANG IBU KEPADA ANAKNYA TENTANG MENDIANG SUAMINYA

Sore ini hujan turun deras sekali. Hari sudah semakin gelap, namun tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Sudah semenjak asar tadi hujan turun, mungkin jalanan sekarang mulai becek karena air hujan. Atau banyak buah mangga berjatuhan di sekitar pohonnya karena goyangan angin yang tadi sempat bertiup kencang. Mungkin juga di rumah-rumah, penduduk desa banyak yang menggerutu karena padinya yang baru di tanam tenggelam akibat banjir yang melanda sawah mereka. Lalu, siapa yang masih berbahagia di tengah hujan yang turun deras sekali ini? Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa di saat-saat seperti ini, kodoklah makhluk yang paling bahagia. Mereka menganggap bahwa suara kodok di kala hujan itu adalah nyanyian kebahagiaan. Apakah mereka mengerti dengan bahasa kodok? Bukankah hanya Nabi Sulaiman yang bisa mengerti tentang bahasa binatang? Pastinya mereka hanya menebak saja. Mereka mengira setiap bunyi yang keluar dari binatang adalah nyanyian kebahagiaan, padahal siapa yang tahu kalau b

BERBAHAGIALAH KAU YANG MATI MUDA

Pernah kita bersama-sama berangkat ke Jakarta dengan kereta. Kita satu gerbong dan kau hampir saja ketinggalan kereta. Kalau kedatanganmu waktu itu di Stasiun Lempuyangan telat satu menit saja, ceritanya mungkin akan berbeda. Kau tidak jadi ke Jakarta, itu berarti kau tidak mengikuti kongres HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang ke-30, kemudian kau tidak datang saat aku wisuda, dan untuk saat sekarang kau masih mengikuti rapat-rapat tim Latihan Kader II di Semarang. Tapi, itu hanyalah pengandaian. Karena kenyataannya kau hanya hampir terlambat naik kereta, kau datang saat aku wisuda, dan kau sekarang malah menghilang tertelan ombak Pantai Sepanjang.